Selasa, 25 Oktober 2016

Icip Icip Kopi Bali

Ternyata saya pernah juga bikin satu blog yang tadinya direncanakan khusus untuk mereview kopi-kopi produksi lokal baik yang tradisional maupun pabrikan, tetapi ternyata blog itu cuma punya satu postingan saja dan sampai sekarang tidak pernah ada penambahan tulisan. Ya sudah, sebelum tulisannya hilang ditelan dunia maya, saya sempatkan untuk saya dokumentasikan di blog saya ini, semoga bermanfaat.

Dari            : icipicipkopi.wordpress.com
Judul         : Icip Icip : Kopi Bali
Posting     : 27 Februari 2014



Untuk postingan saya yang pertama ini yuk kita cicipi yang namanya Kopi Bali, sudah pernah coba apa belum? Seperti apa sih kopi Bali itu?… Hehehehe.. sebenernya kopi Bali ya sama seperti kopi tubruk lainnya, bisa dibilang ini kopi tradisional lah.. Lantas apa dong yang membedakannya dengan kopi daerah lain??… Mmmm.. mungkin dari rasanya ya.. atau mungkin juga dari cara penyajiannya ya… Tapi untuk lebih jelasnya liat dulu deh penampilan kopi bali yang kita bahas kali ini.



 Foto 1: Segelas Kopi Bali

Nah sekarang udah kebayang kan seperti apa kopi Bali itu.., memang tidak beda sih dengan kopi tubruk kebanyakan, malah yang ini cenderung ndeso hehehe.. Tapi eits, tunggu, jangan berpaling dulu ya.. meskipun dari segi presentasinya kopi ini keliatan ndeso, tapi mbok ya dicicipi dulu, kalo sudah mencicipi kopi ini maka saya nggak bertanggung-jawab ya kalo nanti semuanya pada ketagihan.


Sebutan Kopi Bali bagi masyarakat Bali mengacu pada kopi yang pembuatannya masih dilaksanakan secara manual-tradisional, yang masih banyak dijual di pasar-pasar tradisional, artinya bukan bubuk kopi kemasan pabrik multinasional yang juga mudah ditemukan di pasar.


Jenis kopi Bali umumnya adalah Robusta yang ditanam pada daerah tinggi, meski sekarang sudag banyak juga ditanam jenis kopi Arabika yang lebih bernilai ekonomis. Yang unik dari kopi bali ini adalah pada proses produksi pasca tanam yakni sa’at biji-biji kopi ini disangrai, petani atau produsen kopi tradisional gemar memberi sedikit bahan tambahan berupa kelapa; atau coklat atau pun rempah semisal lada maupun kayumanis, yang nantinya rempah-rempah itu turut digiling bersama biji kopi untuk menjadi bubuk kopi siap konsumsi. Pemberian bahan tambahan itu menjadikan rasa kopi Bali memiliki sense yang unik tergantung dari cita rasa bahan yang ditambahkan, namun jangan kawatir, rasa kopinya secara umum tidak berubah karena bahan tambahannya hanya kurang 1% dari volume kopinya.


Baiklah.., sekarang kita coba mencicipi dan membahas tentang si kopi Bali ini. Untuk acara icip men-icip kali ini sengaja saya membuat sendiri di rumah. Bubuk kopinya kebetulan saya punya kiriman dari orang tua di kampung, didapat dari tanaman kopi di Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Satu sendok teh bubuk kopi diseduh dengan air panas mendidih pada satu gelas belimbing/kaca ukuran 250 cc. Sengaja pemberian air tidak sepenuh gelas namun agak sedikit di atas pertengahan tinggi gelas untuk meniru cara penyeduhan yang biasa disajikan oleh warung-warung kopi tradisional di Bali. Setelah didiamkan beberapa menit, kopi siap untuk saya cicipi, namun sebelum saya mencecapnya di lidah, saya coba menghirup terlebih dahulu aromanya yang meruap dari permukaannya yang pekat kehitaman. Aroma kopi bali yang berasal dari kopi robusta ini tidak lah sekuat aroma kopi arabika, saya perlu mendekatkan ke hidung untuk mencium aroma khas kopinya, segar dan tanpa ada bau gosong menunjukkan bahwa kopi telah disangrai secara sempurna sebelum di giling. Barulah kemudian saya mensruputnya dari permukaan dan mencecapnya diujung lidah untuk mengenali rasanya. Rasa pertama yang saya temukan adalah rasa pahit yang pekat namun tidak terlalu menggigit. Cita rasa asam seperti yang biasa terasa pada kopi arabika tidak lah terlalu kentara pada tahap ini. Sampai di sini, biasanya seorang ahli pencicip kopi akan meludahkan kopi yang baru dicecapnya, namun saya langsung menelannya untuk mendapatkan cita rasa lebih lanjut. Di pangkal lidah, rasa pekat terasa lebih menggigit, namun rasa asam tidaklah muncul. Sampai tahap ini, saya belum dapat menemukan sense rasa lain yang biasa menyertai rasa utama kopi.

Karena belum mendapatkan sensasi rasa yang saya cari, maka saya coba untuk menambahkan gula ke dalam kopi tadi. Satu sendok teh rata gula pasir saya campurkan untuk mengimbangi satu sendok teh bubuk kopi yang telah saya seduh tadi. Rasa kopi mulai melebur dengan gula dan sensasi yang saya incar mulai saya dapatkan, rasa dasar kopi mulai melunak menjadi rasa pahit nan lembut dengan sedikit rasa cokelat yang nyaman berpadu dengan sedikit sensasi gurihnya rasa kacang mete. Rasa cokelat yang muncul bisa dimaklumi tentunya karena seperti saya ceritakan di atas, mungkin saja karena bubuk kopi yang saya dapat memang telah diberi tambahan biji cokelat. Sedangkan rasa kacang mede yang saya sampaikan di sini mungkin hanya sensasi rasa yang sulit saya jelaskan, dan mungkin tiap orang bisa mendeskripsikan secara berbeda, namun yang mungkin sama adalah itu merupakan sensasi rasa sejenis kacang.

Setelah mendapatkan sensasi rasa  yang saya cari, sedikit demi sedikit saya menghabiskan kopi dalam gelas ini, dan rasa asam yang tipis mulai muncul pada teguk-tegukan terakhir saat suhu kopi sudah mulai menurun.


Kembali ke cerita Kopi Bali yang biasa dijajakan di warung-warung kopi tradisional, coba perhatikan sekali lagi foto yang ada di atas, tampak bahwa gelas tidak terisi penuh melainkan hanya sedikit di atas pertengahan tinggi gelas bukan? Heheheh.. kopi yang tidak penuh itu bukan karena sudah saya minum atau pun bukan karena yang menghidangkannya adalah seorang yang pelit ya. Memang seperti itulah cara penyajian segelas kopi Bali, selalu setengah gelas lebih sedikit. Kenapa begitu? entahlah, kalo hal ini saya tanyakan pada ibu-ibu penjaja kopi maka mereka akan menjawab bahwa sudah sejak dulu memang begitu. Sedangkan kalo saya tanyakan pada orang-orang yang minum kopi di warung, mereka akan menjawab itu dikarenakan Kopi Bali yang pekat memiliki kandungan cafein yang sangat tinggi sehingga kita tidak perlu minum banyak-banyak, cukup setengah gelas lebih sedikit saja sudah dapat menyegarkan badan sedari pagi hingga siang hari. Sementara lainnya mengatakan bahwa itu dikarenakan masyarakat Bali lebih senang meminum kopi di saat masih dalam keadaan panas sehingga perlu diberi jarak dari bibir gelas ke permukaan kopi agar jari kita tidak kepanasan. Saya sendiri percaya pada dua jawaban tersebut.


Ada cerita unik pengalaman saya dengan kopi Bali ini. Dulu saat masih tinggal di Jakarta, sekali waktu saya harus pulang ke Bali karena ada saudara yang meninggal. Sambil menunggu upacara penguburan dimulai saya menyempatkan sebentar untuk mampir ke sebuah warung kopi. Hal lucu terjadi saat saya sudah menghabiskan gelas pertama, karena rasa kopi yang enak dan untuk saya satu gelas kopi bali belum lah cukup maka saya pun memesan untuk satu gelas lagi. Sang ibu penjual kopi nampak kebingungan dengan pesanan saya tersebut, saya pun menjadi bingung atas kebingungan si ibu. Dengan agak sangsi saya ulangi pesanan saya sekali lagi. Si ibu bukannya langsung membuat kopi malahan ia kembali bingung, sambil menannyakan untuk siapa saya memesan kopi karena dia tidak melihat saya mengajak seorang kawan pun di warungnya. Saya jawab bahwa satu gelas kopi tambahan itu adalah untuk saya sendiri, dan apa lacur jawaban saya malah membuat si ibu dan beberapa orang yang sedang berada di warung malah tertawa. Apa pasal? si ibu kemudian menjelaskan bahwa selama ini tidak ada orang yang minum kopi sampai nambah seperti saya. Wah betapa malunya saya, rupanya porsi satu gelas kopi Bali (yang sebenarnya cuma berisi setengah gelas lebih sedikit) sudah cukup bagi masyarakat di sana. Namun sambil masih tertawa si ibu akhirnya memenuhi pesanan tambahan saya itu. Ah ada-ada saja ya, lain daerah lain pula budaya minum kopinya.

Nah bagi pembaca yang sedang mampir berwisata ke Bali atau berencana untuk mengunjungi Pulau Dewata, jangan lupa, sambil menikmati pemandangan alam nan romantis sempatkanlah diri untuk terhanyut dalam nikmatnya buaian sensasi rasa Kopi Bali. 


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Sangat menarik. Saya juga salah seorang penggemar kopi Bali. Biasanya beli yang mentah sekilo atau 2 kg, kemudian di roasted dan giling sendiri. salam

Anonim mengatakan...

Matur Suun / Matur Suksema mas Wage Raharjo sudah berkunjung ke Blog saya, Salam kenal, semoga satu waktu nanti kita bisa ngopi bareng ya mas Wage..

Sukses selalu untuk mas Wage dan team blog Dongeng Budaya..


Salam hangat (seperti kopi),

Manji Dharsana.