Jumat, 17 Agustus 2007

Di mana ada kemauan, di situ ada jalan


Pepatah atau pemeo ini pastinya sudah sering kita dengar, bahkan mungkin saking seringnya kita dengar malahan membuat kita tidak menganggap pepatah ini terlalu berarti.

Begitu juga dengan saya sendiri, meski sering mendengar, tapi lebih sering lagi saya mengabaikannya, sampai suatu ketika ada satu kejadian kecil yang menimpa saya, tapi cukup menyentil untuk membuat saya tidak akan pernah lagi mengabaikan pepatah itu.

Mengetahui dari harian Ibu kota bahwa penyanyi Daniel Sahuleka akan mengadakan pertunjukan di Pusat Kebudayaan Belanda di Jakarta, muncul keinginan saya untuk menonton penampilannya, sambil berharap dapat kesempatan untuk berfoto dengan penyanyi berdarah maluku tersebut.

Saya baru mencoba membeli tiket sehari sebelum jadwal pertunjukan, ternayata tiket pertunjukan yang hanya berlangsung satu kali itu, sudah habis, tentunya saya amat kecewa.

Esokan harinya, saat melewati ruas jalan di depan Mal Pondok Indah, terpampang spanduk memberitahukan Daniel Sahuleka akan tampil di Pusat Perbelanjaan Mewah tersebut, Gratis pula. Wah kali ini jangan terlewat, Maka sesuai jadwal saya sudah bersiap-siap di depan panggung, pertunjukan, lengkap dengan membawa kamera digital tentunya, tekad saya bulat untuk bisa berfoto bareng penyanyi kelahiran Semarang tahun 1950 itu.

Pada saat Daniel Sahuleka sedang bersiap-siap untuk tampil di pentas, saya segera mangaktifkan kamera dan menuju belakang panggung mencari kesempatan berfoto, namun apa lacur ternyata ketika persis berhadapan dengan penyanyi kriting tersebut, tenaga batere kamera digital saya tepat pada titik nadirnya alias Low Batt, tentunya gagal lah saya untuk berfoto bersama nyong Ambon satu itu.

Di tengah berlangsungnya pertunjukan, ditengah perasaan kesal karena gagal foto bersama, saya terus berpikir bagaimana caranya untuk mendapat kesempatan berfoto, tiba-tiba saya merasa ada sesorang yang mencolek pundak saya dari belakang, ketika saya toleh ternyata yang mencolek adalah teman saat kuliah dulu, yang juga datang menonton pertunjukan ini, keruan saja harapan saya muncul kembali, segera saya tanyakan apakah dia membawa kamera, dan kebetulan dia membawa telepon selular yang dilengkapi fasilitas kamera, saya pun meminta tolong kawan itu agar nanti mau memotretkan saya.

Seusai pertunjukan, panitia memberi kesempatan kepada pengunjung untuk berfoto sekaligus bisa mendapatkan tandatangan Daniel Sahuleka, segera saja saya dan kawan saya ikut antri untuk berfoto. Namun, di sinilah kesialan datang tuk keduakali, lagi-lagi ada saja halangan yang datang, ternyata telepon selular milik kawan saya juga sudah berkurang tenaga batere-nya alias Low Batt juga. Hendak mundur dari barisan rasanya tanggung sekali, karena posisi antrian kami sudah demikian dekat dengan si artis, tapi kalo terus mengantri tentunya percuma karena tidak ada kamera yang bisa dipakai.

Entah ada bisikan apa, atau hanya reflek saja, saya menoleh ke sekeliling. Persis di belakang kawan saya, berdiri seseorang yang sama sekali tidak saya kenal, memegang kamera digital cukup canggih, dan tampaknya orang tersebut hanya sendirian saja. Seketika saya merasa mendapat angin segar, muncul ide saya, pikir saya orang itu kan tidak mengajak teman, tentunya dia butuh bantuan orang lain untuk mengabadikan dirinya bersama Daniel sahuleka, segera saja saya tawarkan bantuan untuk memotretnya, yang tentunya tidak terlalu tulus karena berisi syarat bahwa saya dan kawan saya minta tolong juga untuk difotokan, ternyata dia langsung menyetujui tawaran saya, dan akhirnya bersama kawan lama dan kawan baru saya ini, niatan untuk berfoto dengan pelantun lagu You Make My World So Colorful itu bisa juga terlaksana.

Tentunya cerita ini hanyalah sebuah contoh kecil saja, namun sejak itu saya menjadi yakin bahwa apa kata pepatah di mana ada kemauan pasti ada jalan, tentunya akan berlaku pula di segala hal, bahkan untuk hal-hal yang lebih besar.


(Terimakasih untuk Subhan, yang dengan baik hati bersedia memotretkan dan mengirimkan hasil fotonya)

MEROKOK UNTUK KESELAMATAN

Rokok memang berbahaya buat kesehatan. Tapi ternyata penting juga buat keselamatan. Kok bisa? Bisa saja. Begini ceritanya. Sepuluh tahun yang lalu, saya bekerja sebagai Junior Geologist di daerah Natal, Mandailing, Tapanuli Selatan. Karena lokasi tugas berada di pedalaman, mengharuskan saya keluar masuk hutan. Ketika memulai hari pertama tugas—masuk hutan, saya dianjurkan untuk merokok. Menyadari sebagai seorang pemula, tanpa banyak bertanya, anjuran itupun saya ikuti. Meskipun sebenarnya saya bukanlah perokok.

Nah, suatu hari bersama rombongan, saya berjalan dari base camp menuju lokasi tugas dengan penuh semangat. Saking semangatnya sampai tidak sadar ternyata saya sudah berjalan jauh meninggalkan rombongan. Mendadak di hadapan saya ada segerombolan babi hutan tengah sibuk mencari makan. Jumlahnya sekitar 8-10 ekor. Tanpa perlu memastikan jumlahnya, apakah lebih dari 10 atau kurang dari 8 saya langsung balik badan, mengambil langkah seribu. Sambil terantuk-antuk pada akar-akar pohon hutan, saya terus dibayangi tatapan salah seekor babi hutan yang bertubuh paling besar dan wajahnya paling seram. Mungkin dia adalah sang pemimpin rombongan.

Beruntung ketika tenaga hampir habis karena kelelahan, saya sudah bertemu dengan rombongan yang tadi tertinggal. Selesai saya menuturkan kejadiannya, serempak mereka mentertawakan kesialan saya. Waduh, sudah wajah pucat pasi, kaki lebam-lebam karena tersandung akar, masih ditertawakan pula.
Namun salah seorang awak bor menghibur saya:
“Wah mas ini pasti lupa ngisap rokoknya ya?” sambil menjulurkan kotak rokoknya

“Ini mas jangan malu-malu, kalo rokok sampean habis, minta saja rokok saya”.
Rokok pun saya raih. Saya baru sadar saat berangkat tadi lupa membawa rokok.

Mereka menjelaskan bahwa aroma rokok yang semerbak dapat tercium oleh hewan-hewan hutan dari jarak yang cukup jauh. Hewan-hewan pun akan segera menjauh karena mengetahui akan datangnya bangsa manusia. Sehingga perjumpaan pun dapat terhindarkan. Jadi meskipun berbahaya bagi kesehatan, rokok penting juga untuk keselamatan. Tapi khusus di tengah hutan loh.
(Tulisan ini mendapat bantuan penyuntingan dari kawan saya AGUS IRKHAM - Penulis buku "Prigel Menulis Artikel")



Kamis, 16 Agustus 2007

DI BALI, ADA JALAN MARLBORO

Ada-ada saja kreativitas masyarakat dalam memberi nama suatu jalan. Umumnya nama jalan yang terlalu panjang akan disingkat sehingga lebih mudah disebut, contohnya di Jakarta ada Jl. Otista untuk menyebut jalan Otto Iskandar Dinata.

Tapi di Bali, tepatnya di kota Denpasar, jangan heran dan bingung kalo kita ditunjukan ke jalan yang bernama Jalan Marlboro. Bukan karena di sana terdapat pabrik rokok merek ternama dari Amerika tersebut, dan bukan juga karena perusahaan rokok itu menyumbang dana untuk membangun jalan di sana.

Usut punya usut, ternyata Jalan Marlboro merujuk pada satu ruas jalan yang baru di bangun sekitar tahun 2000, yang merupakan terusan dari jalan Teuku Umar. Namun, menurut cerita dari supir yang sering mengantar saya, ketika jalan tersebut sudah bisa dilalui kendaraan, cukup lama ia tidak diberi pelang petunjuk nama jalan. Satu-satunya pelang yang terpampang di ujung jalan adalah pelang iklan rokok Marlboro yang memang sudah lama ada di persimpangan dengan jalan Imam Bonjol. Meski pelangnya tidak terlalu besar, namun apabila kita masuk ke jalan baru itu dari arah jalan Teuku Umar, iklan tersebut terlihat amat mencolok seolah memberi identitas bagi si jalan baru tersebut, jadilah jalan itu memiliki nama tak resmi sebagai Jalan Marlboro.

Karena nama Marlboro sudah terlanjur ‘beken’, beberapa pengusaha handicraft di lokasi itu tetap mencantumkan nama Jalan Marlboro sebagai alamat perusahaan di kartunamanya. Kalau pun ada yang mencantumkan alamat resmi, mungkin karena tidak cukup ‘pede’, maka mereka tetap mencantumkan nama jalan Marlboro dalam tanda kurung, di sebelah nama jalan resminya yaitu Jalan Teuku Umar Barat.