Dari : icipicipkopi.wordpress.com
Judul : Icip Icip : Kopi Bali
Posting : 27 Februari 2014
Untuk postingan saya yang pertama
ini yuk kita cicipi yang namanya Kopi Bali, sudah pernah coba apa belum?
Seperti apa sih kopi Bali itu?… Hehehehe.. sebenernya kopi Bali ya sama seperti
kopi tubruk lainnya, bisa dibilang ini kopi tradisional lah.. Lantas apa dong
yang membedakannya dengan kopi daerah lain??… Mmmm.. mungkin dari rasanya ya..
atau mungkin juga dari cara penyajiannya ya… Tapi untuk lebih jelasnya liat
dulu deh penampilan kopi bali yang kita bahas kali ini.
Foto 1: Segelas Kopi Bali
Nah sekarang udah kebayang kan
seperti apa kopi Bali itu.., memang tidak beda sih dengan kopi tubruk kebanyakan,
malah yang ini cenderung ndeso hehehe.. Tapi eits, tunggu, jangan berpaling
dulu ya.. meskipun dari segi presentasinya kopi ini keliatan ndeso, tapi mbok
ya dicicipi dulu, kalo sudah mencicipi kopi ini maka saya nggak
bertanggung-jawab ya kalo nanti semuanya pada ketagihan.
Sebutan Kopi Bali bagi masyarakat
Bali mengacu pada kopi yang pembuatannya masih dilaksanakan secara
manual-tradisional, yang masih banyak dijual di pasar-pasar tradisional,
artinya bukan bubuk kopi kemasan pabrik multinasional yang juga mudah ditemukan
di pasar.
Jenis kopi Bali umumnya adalah
Robusta yang ditanam pada daerah tinggi, meski sekarang sudag banyak juga ditanam
jenis kopi Arabika yang lebih bernilai ekonomis. Yang unik dari kopi
bali ini adalah pada proses produksi pasca tanam yakni sa’at biji-biji kopi ini disangrai, petani atau produsen kopi
tradisional gemar memberi sedikit bahan tambahan berupa kelapa; atau coklat
atau pun rempah semisal lada maupun kayumanis, yang nantinya rempah-rempah
itu turut digiling bersama biji kopi untuk menjadi bubuk kopi siap konsumsi.
Pemberian bahan tambahan itu menjadikan rasa kopi Bali memiliki sense
yang unik tergantung dari cita rasa bahan yang ditambahkan, namun jangan
kawatir, rasa kopinya secara umum tidak berubah karena bahan tambahannya hanya
kurang 1% dari volume kopinya.
Baiklah.., sekarang kita coba
mencicipi dan membahas tentang si kopi Bali ini. Untuk acara icip men-icip kali
ini sengaja saya membuat sendiri di rumah. Bubuk kopinya kebetulan saya punya
kiriman dari orang tua di kampung, didapat dari tanaman kopi di Desa
Lemukih, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Satu sendok teh bubuk kopi diseduh dengan air panas mendidih pada satu gelas belimbing/kaca ukuran 250 cc.
Sengaja pemberian air tidak sepenuh gelas namun agak sedikit di atas
pertengahan tinggi gelas untuk meniru cara penyeduhan yang biasa disajikan oleh
warung-warung kopi tradisional di Bali. Setelah didiamkan beberapa menit, kopi
siap untuk saya cicipi, namun sebelum saya mencecapnya di lidah, saya coba
menghirup terlebih dahulu aromanya yang meruap dari permukaannya yang pekat
kehitaman. Aroma kopi bali yang berasal dari kopi robusta ini tidak lah sekuat
aroma kopi arabika, saya perlu mendekatkan ke hidung untuk mencium aroma khas
kopinya, segar dan tanpa ada bau gosong menunjukkan bahwa kopi telah disangrai
secara sempurna sebelum di giling. Barulah kemudian saya mensruputnya
dari permukaan dan mencecapnya diujung lidah untuk mengenali rasanya. Rasa
pertama yang saya temukan adalah rasa pahit yang pekat namun tidak terlalu
menggigit. Cita rasa asam seperti yang biasa terasa pada kopi arabika tidak lah
terlalu kentara pada tahap ini. Sampai di sini, biasanya seorang ahli pencicip kopi
akan meludahkan kopi yang baru dicecapnya, namun saya langsung menelannya untuk
mendapatkan cita rasa lebih lanjut. Di pangkal lidah, rasa pekat terasa lebih
menggigit, namun rasa asam tidaklah muncul. Sampai tahap ini, saya belum dapat
menemukan sense rasa lain yang biasa menyertai rasa utama kopi.
Karena belum mendapatkan sensasi
rasa yang saya cari, maka saya coba untuk menambahkan gula ke dalam kopi tadi.
Satu sendok teh rata gula pasir saya campurkan untuk mengimbangi satu sendok
teh bubuk kopi yang telah saya seduh tadi. Rasa kopi mulai melebur dengan gula
dan sensasi yang saya incar mulai saya dapatkan, rasa dasar kopi mulai melunak
menjadi rasa pahit nan lembut dengan sedikit rasa cokelat yang nyaman berpadu
dengan sedikit sensasi gurihnya rasa kacang mete. Rasa cokelat yang muncul bisa
dimaklumi tentunya karena seperti saya ceritakan di atas, mungkin saja karena
bubuk kopi yang saya dapat memang telah diberi tambahan biji cokelat. Sedangkan
rasa kacang mede yang saya sampaikan di sini mungkin hanya sensasi rasa yang
sulit saya jelaskan, dan mungkin tiap orang bisa mendeskripsikan secara
berbeda, namun yang mungkin sama adalah itu merupakan sensasi rasa sejenis
kacang.
Setelah mendapatkan sensasi
rasa yang saya cari, sedikit demi sedikit saya menghabiskan kopi dalam
gelas ini, dan rasa asam yang tipis mulai muncul pada teguk-tegukan terakhir
saat suhu kopi sudah mulai menurun.
Kembali ke cerita Kopi Bali yang
biasa dijajakan di warung-warung kopi tradisional, coba perhatikan sekali lagi
foto yang ada di atas, tampak bahwa gelas tidak terisi penuh melainkan hanya
sedikit di atas pertengahan tinggi gelas bukan? Heheheh.. kopi yang tidak penuh
itu bukan karena sudah saya minum atau pun bukan karena yang menghidangkannya
adalah seorang yang pelit ya. Memang seperti itulah cara penyajian segelas kopi
Bali, selalu setengah gelas lebih sedikit. Kenapa begitu? entahlah, kalo hal
ini saya tanyakan pada ibu-ibu penjaja kopi maka mereka akan menjawab bahwa
sudah sejak dulu memang begitu. Sedangkan kalo saya tanyakan pada orang-orang
yang minum kopi di warung, mereka akan menjawab itu dikarenakan Kopi Bali yang
pekat memiliki kandungan cafein yang sangat tinggi sehingga kita tidak perlu
minum banyak-banyak, cukup setengah gelas lebih sedikit saja sudah dapat menyegarkan
badan sedari pagi hingga siang hari. Sementara lainnya mengatakan bahwa itu dikarenakan
masyarakat Bali lebih senang meminum kopi di saat masih dalam keadaan panas
sehingga perlu diberi jarak dari bibir gelas ke permukaan kopi agar jari kita
tidak kepanasan. Saya sendiri percaya pada dua jawaban tersebut.
Ada cerita unik pengalaman saya dengan kopi Bali ini. Dulu saat masih tinggal di Jakarta, sekali waktu saya harus pulang ke Bali karena ada saudara yang meninggal. Sambil menunggu upacara penguburan dimulai saya menyempatkan sebentar untuk mampir ke sebuah warung kopi. Hal lucu terjadi saat saya sudah menghabiskan gelas pertama, karena rasa kopi yang enak dan untuk saya satu gelas kopi bali belum lah cukup maka saya pun memesan untuk satu gelas lagi. Sang ibu penjual kopi nampak kebingungan dengan pesanan saya tersebut, saya pun menjadi bingung atas kebingungan si ibu. Dengan agak sangsi saya ulangi pesanan saya sekali lagi. Si ibu bukannya langsung membuat kopi malahan ia kembali bingung, sambil menannyakan untuk siapa saya memesan kopi karena dia tidak melihat saya mengajak seorang kawan pun di warungnya. Saya jawab bahwa satu gelas kopi tambahan itu adalah untuk saya sendiri, dan apa lacur jawaban saya malah membuat si ibu dan beberapa orang yang sedang berada di warung malah tertawa. Apa pasal? si ibu kemudian menjelaskan bahwa selama ini tidak ada orang yang minum kopi sampai nambah seperti saya. Wah betapa malunya saya, rupanya porsi satu gelas kopi Bali (yang sebenarnya cuma berisi setengah gelas lebih sedikit) sudah cukup bagi masyarakat di sana. Namun sambil masih tertawa si ibu akhirnya memenuhi pesanan tambahan saya itu. Ah ada-ada saja ya, lain daerah lain pula budaya minum kopinya.
Nah bagi pembaca yang sedang mampir berwisata ke
Bali atau berencana untuk mengunjungi Pulau Dewata, jangan lupa, sambil
menikmati pemandangan alam nan romantis sempatkanlah diri untuk terhanyut dalam
nikmatnya buaian sensasi rasa Kopi Bali.