Kamis, 22 Oktober 2015

MENSANA IN CORPORE SANO

Ini Tulisan ke tiga dalam blog Diary Sepeda GoBlog yang pernah saya tulis, masih dalam rangka untuk meramaikan dan coba mengaktifkan blog ini kembali, sebelum nanti saya publikasikan ulang.. jiaaaahhh..



Dari       : Diary Sepeda GoBlog 
Diary 3   : MENSANA IN CORPORE SANO 
Posting  : Kamis, 31 Mei 2012

Satu minggu setelah gowes pertama, saya masih berkeinginan untuk mencoba gowes lagi. Masih di hari Minggu yang permai, hari yang saya pilih untuk mencoba kemampuan saya bergowes ria. Kali ini saya menuntun sepeda dengan perasaan was-was, karena belum yakin dengan kemampuan otot-otot kaki.

Karena belum mahfum dengan kemampuan diri beradaptasi dengan sepeda baru ini, maka saya harus menerapkan strategi yang tepat untuk dapat setidaknya gowes hingga beberapa ratus meter. Akhirnya saya memilih untuk menggenjot saja sekuat-kuatnya, dengan harapan dapat mengetahui kemampuan otot maksimal.

Ancang-ancang dari depan halaman rumah, sepeda meluncur dengan mulus dan langsung saya arahkan ke luar komplek perumahan. Keluar dari perumahan, jalan masih menurun sehingga saya belum menemukan rintangan berarti. Setengah perjalanan menuju jalan raya jalan sedikit menanjak, dengan strategi yang sudah saya ancangkan sejak awal, sepeda saya genjot sekuat tenaga, dan meski nafas tersengal tanjakan pertama sukses saya lalui dilanjutkan dengan jalan menurun hingga mencapai jalan raya. Dari jalan raya saya arahkan kemudi memilih jalan yang menurun, sehingga saya pun masih aman menuju sebuah toko serba ada untuk membeli beberapa barang keperluan.

Selesai berbelanja, maka mau tidak mau jalan yang saya harus lalui adalah jalan yang menanjak, tidak curam namun di beberapa tempat juga tidak terlalu landai. Kembali strategi gowes sekuat tenaga saya terapkan, dan tanpa memikirkan perbandingan gear yang harus saya pilih, sepeda saya genjot secara membabi-buta laksana seorang tiran yang kejam memperbudak otot-otot untuk menuruti perintah-perintah tak berperikemanusiaan dari sang kepala. Jalan raya yang menanjak pun berhasil saya tempuh sampai berbelok ke jalan aspal kasar yang menuju ke arah rumah, tetap dengan semangat membabi buta, tanjakkan demi tanjakkan terus saya lahap tanpa jeda istirahat, dan dengan nafas yang terus memburu saya memaksakan diri untuk tetap bertahan di atas sadel sepeda. Untungnya kali ini tidak ada anjing milik tetangga yang menghadang perjalanan menuju rumah. 

Menjelang sampai rumah, jalan menanjak terasa lebih terjal namun tetap saya memaksakan untuk terus menggenjot, sampai akhirnya tibalah saya di rumah. Dan tanpa ampun saya pun tergeletak, terkulai lemas di lantai teras dengan nafas tersengal-sengal, tubuh dari kaki hingga pundak gemetar, perut mual terasa hendak muntah, kepala pusing, dan mata berkunang-kunang. Tubuh ini sepertinya bersekongkol melaksanakan pemboikotan dan melakukan pemberontakan terhadap kediktatoran saya, dan sebagaimana takdir yang biasanya mengakhiri masa pemerintahan seorang diktator, saya pun tumbang menghadapi pemboikotan dan perlawanan tersebut.

Hari minggu kali ini terasa begitu kelabu, hari ini saya tak sanggup mengajak anak istri untuk sekadar berjalan-jalan menikmati hari. Saya memilih untuk merebahkan diri seharian penuh di tempat tidur. Dan akhirnya hari ini berakhir di pembaringan sambil menerima pijitan di sekujur badan dari Bi Lastri tukang pijat langganan istri saya. Dan seperti yang sudah-sudah, Bi Lastri selalu berceloteh yang itu-itu saja. Sambil terpaksa mendengar celotehan si bibi tukang pijat, terngiang saya akan petatah petitih jargon penyemangat olahraga yang dulu biasa didengungkan pemerintahan orde baru: "Mensana In Corpore Sano - Dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat".... Haduuuuuuhhh...

Kamis, 15 Oktober 2015

ORDER PERTAMA MEMOTRET PREWEDING

Kebetulan ada teman yang minta dibuatkan foto pre wedding untuk acara pernikahan mereka di Bali, wah tentunya ini sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan untuk menambah ilmu fotografi saya. Tapi di sisi lain saya juga cukup dibuat bingung, maklumlah, namanya juga amatir yang baru belajar motret, saya khawatir kalo nanti hasilnya tidak bagus tentunya akan mengecewakan teman saya itu. Tentu dapat dimengerti untuk sebuah acara yang hanya satu kali dalam seuur hidup pastilah kawan saya itu berharap bisa memiliki photo pre wedding yang baik dan berkesan untuk kenang-kenangan sesudah berumah tangga nanti.


Modal saya sebagai pembelajar fotography bisa dibilang sangat minim, saya hanya memiliki sebuah kamera DSLR kelas pemula yakni Canon D1100, plus sebuah lensa Kit Canon  18 – 55 mm; sebuah lensa zoom tele Canon 70 – 300 mm; dan sebuah Lensa Fix Canon 50 mm 1.8. Aksesoris lain yang saya punya hanyalah 2 buah Tripod. Jangan tanya soal Lampu Kilat ya, hehehe, itu masih dalam rencana belanja nomor sekian.


Dengan modal seperti di atas amat lah mengkhawatirkan kalo saya dituntut untuk menghasilkan foto yang bagus, namun karena yang minta tolong adalah kawan dekat kami, maka rasanya sulit untuk ditolak dan akhirnya dengan nekat saja saya menyanggupi permintaan foto pre wedding kawan tersebut, toh pikir saya nanti bisa dilakukan penyuntingan gambar melalui komputer.


Nah setelah menguatkan hati untuk bersedia menerima order foto prewedding tersebut, sekarang ada kesulitan lain yang harus dipertimbangkan  yakni persoalan waktu dan lokasi pemotretan, maklum saja karena calon mepelai pria tinggal di Jakarta untuk melanjutkan studinya, maka praktis ia hanya menyisakan hari Sabtu dan Minggu saja untuk ke Bali, itu pun waktu yang ada harus dibagi lagi untuk mengurus segala persiapan pernikahan  mulai dari mencari tempat pemberkatan; menghubungi majelis gereja yg akan membantu acara pemberkatan, hingga reservasi tempat resepsi; sewa gaun pengantin; tempat penginapan keluarga dan lain sebagainya. Setelah berunding akhirnya kami memutuskan memilih lokasi pemotretan di sekitar komplek perumahan kami saja, dengan tujuan agar  lebih fleksibel dalam penentuan waktu pelaksanaan, sehingga tidak perlu mencari lokasi di luar kota yang dapat memakan waktu satu hari penuh.


Keuntungan lain dari pemilihan lokasi di area komplek perumahan adalah saya bisa menampilkan lokasi foto prewedding yang tidak “pasaran” jika dibandingkan dengan lokasi di area-area wisata yang sudah dikenal banyak orang. Kebetulan area depan komplek perumahan kami di Bali Arum – Jimbaran memiliki beberapa  fasilitas umum  yang memadai  seperti: Pura tempat peribadatan; Wantilan; Kolam Air Mancur dan taman bermain yang cukup asri dengan sentuhan tradisional Bali, sehingga cukup artistik sebagai tempat foto preweding. Saya hanya perlu mencari titik-titik lokasi yang “eye catching” untuk memperkuat tampilan foto keseluruhan.


Mengingat waktu yang sangat terbatas,  konsep yang ingin saya tampilkan adalah informal seolah-olah kedua calon mempelai sedang menikmati suasana sore di lingkungan tempat tinggal kami. Dan untuk itu saya meminta kedua calon mepelai untuk memakai pakaian kasual saja: atasan Putih dan bawahan celana Jeans warna biru, pertimbangannya adalah agar lebih cepat bergerak dan berpindah-pindah titik lokasi yang mana tentunya akan sangat repot dan memakan waktu dibandingkan saya memilih konsep formal dengan pakain full wedding dress. Untungnya kedua mepelai langsung menyetujui konsep yang saya usulkan tersebut.


Tibalah hari pelaksanaan, Jam 5 sore saya telah menunggu kedua model saya untuk memulai pemotretan, namun apa daya saya harus mengalah karena kedua calon mepelai tersebut masih menjalani uji coba tata rias make up yang sekaligus akan dipergunakan untuk tatarias pada pemotretan ini.  Satu jam berlalu dan sinar matahari sudah mulai berkurang teriknya, tentu saja hal ini membuat saya semakin gundah mengingat saya tidak memiliki lampu flash eksternal sebagai sumber cahaya apabila nanti hari semakin gelap. Satu-satunya lampu flash yang saya miliki adalah unit lampu flash yang menyatu pada kamera saya, dan kalo harus memakainya saya yakin maka hasil fotonya akan terkesan datar dan biasa saja. Jam 6.15 sore barulah keduanya datang ke lokasi, dan dengan sinar matahari yang mulai redup saya tak memiliki pilihan lain selain menggunakan lensa Canon 50 mm 1.8 yang memiliki bukaan diafragma cukup besar untuk mendapatkan cahaya yang maksimal.


Dengan waktu yang tinggal sedikit menuju senja, maka pemotretan harus dapat dilaksanakan secepat mungkin untuk menjangkau seluruh  titik lokasi foto serta angle pemotretan yang menarik, saya beruntung karena kedua calon pengantin sangat kooperatif saat difoto, dan tidak menunjukkan kecanggungan saat saya minta untuk bergaya di depan kamera. Sekitar 45 menit kami habiskan untuk berfoto pada 8 titik yang berbeda, dan setelah menghabiskan sekitar 130 frame  akhirnya kami mendapat beberapa frame yang kami anggap cukup menarik dan layak untuk kami tampilkan pada acara pernikahan sahabat saya itu.


Hasil akhir saya beri sedikit sentuhan editing di photoshop yakni pada seting kecerahan warnanya saja, dan kalo penasaran ingin tahu hasil pemotretan saya naahh ini saya tampilkan beberapa diantaranya :-)


Foto Preweding 1

Foto Preweding 2

Foto Preweding 3

Foto Preweding 4




Senang rasanya karena kawan saya itu puas dengan hasil foto yang saya buat, langkah selanjutnya adalah mencetak foto-foto yang telah kami pilih ke dalam ukuran besar untuk dipajang pada acara pemberkatan serta resepesi pernikahan di bali dan Jakarta.

Foto Preweding 5

Foto preweding 6

Foto 7 : Berpose dengan hasil karya



Wah rasanya bangga sekali saat menyaksikan karya foto saya terpajang untuk sebuah acara yang sangat penting bagi sepasang insan yang memasuki fase kehidupan barunya. Selamat untuk kedua mempelai, sahabat kami : Fred  dan Muli.


Note:
- Foto 1 - 6 Milik Fred dan Muli
- Besarnya file foto terpaksa dikurangi


Kamis, 09 Juli 2015

Diary 2: Ironi Kehidupan

Dari: Diary Sepeda GoBlog
Diary 2: Ironi Kehidupan
Posting : 17 May 2012 


Setiba di rumah, sang sepeda sudah bertengger dengan kalemnya di halaman, disambut dengan komentar dari si bibi kepada istri : "Bu tadi ada yang bawakan sepeda".

Malam ini tentunya belum sempat saya mencoba si baru, tapi sepenggal rencana telah memenuhi benak untuk esok pagi bangun lebih awal mencoba gowes gowes keliling perumahan. Hahahahaha kok rasanya seperti anak kecil yang baru dapat hadiah sepeda mini baru karena jadi juara kelas ya ....

Pagi keesokan hari, bangun dengan semangat empatlima (bahkan mungkin empatlima-enam-tujuh-delapan sembilan-sepuluh), lalu bergegas Cuci muka, kumur-kumur, dan tentunya morning coffee seduhan sendiri agar nyawa secepatnya hadir, mengusir kantuk yang masih tersisa di mata, agar sigap menggerakkan raga yang diselimuti rasa terlalu bersemangat ini untuk mewujudkan rencana yang sudah tersusun sejak semalam (duileh yang dapet sepeda baru ... kalem dong brooo..).

Tidak menunggu lama, sepeda segera saya giring ke depan rumah, setel-setel sedikit tinggi sadelnya supaya jangkuan kaki pas di pedal (lagaknya udah yang kayak goweser sejati dah), sejurus kemudian dimulai dari hentakan pertama .. jalan menurun depan rumah membuat sepeda melaju dengan mulusnya  Wuuuusss..., terciptalah satu momen indah yang terekam dalam mata ini kala alam semesta : pepohonan; awan; rumah-rumah tetangga; pagar-pagar; tiang listrik; bak sampah; paving block; seolah berlari berlawanan arah dengan gerakan slow motion yang serba melankolis, mengharu biru dalam harmoni yang paling sempurna, dihembus angin pagi semilir (layaknya di filem-filem Eropa ), serta lambaian tangan ibu-ibu istri para pekerja bangunan,  hari sepertinya memiliki cara sendiri untuk mengucapkan selamat pagi kepada saya, dengan gaya bahasanya yang paling indah dan paling menggugah semangat.

Jalan paving depan taman di pusat perumahan sengaja saya pilih, karena konturnya yang memang datar-datar saja, cocok untuk arena uji coba. Setiap genjotan benar-benar saya rasakan kalo-kalo ada yang kiranya belum sempurna. Pedal rem; kepakeman rem, dan kelancaran pergantian gigi-gigi tentunya tak luput dari perhatian. Dan rupanya meski tergolong Low Grade (maksud saya harganya murah cing..), namun sepeda merk Le Run march 300 (powered by POLYGON), dengan gear dan pemindah gear merk Shimano ini tidak mengecewakan, cukup sebanding lah dengan dana yang telah kami keluarkan. Keseimbangannya stabil, dan pergantian antar gigi berlangsung cukup mulus meski sesekali ada suara gemeletuk, tak apa, secara keseluruhan semuanya saya nilai ok-ok saja.

Satu putaran, dua putaran saya lalui tanpa hambatan berarti, namun pada putaran ke tiga, nampaknya mulai ada masalah,... bukan.. bukan pada sepedanya, melainkan pada otot-otot di dengkul yang nampaknya mulai memberi sinyal penolakan untuk saya genjot sedikit lebih jauh lagi, dan agaknya saya pun tidak kuasa menolak pembangkangan tersebut, hingga kemudi pun saya arah kan menuju kembali ke rumah.

Rupanya perjalanan kembali ke rumah tidaklah semudah seperti saat berangkat tadi, karena posisi lokasi taman lebih rendah dari posisi rumah maka medan menuju rumah adalah medan yang menanjak, walau sebenarnya sih tidak terlalu terjal, tapi mungkin karena sudah lama sekali saya tidak mengayuh sepeda, dan ditambah lagi dengan otot-otot yang enggan diajak kompromi, jadilah perjalanan pulang menjadi siksaan yang maha berat yang harus saya tempuh. Sebenarnya bisa saja saya turun dan menuntun sepeda pulang ke rumah, tapi alamak tentunya hal itu akan sangat memalukan meski sebenarnya tidak ada seorang pun yang memperhatikan. Maka demi menjaga gengsi, saya bertekad bertahan untuk tetap berada di atas sepeda hingga tiba di rumah.

Ternyata siksaan yang harus saya alami belum berhenti hanya sampai di situ saja. Seperti peribahasa yang mengolok-olok dengan pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula, beberapa belas meter menjelang tiba di rumah, dua ekor anjing milik tetangga menghadang perjalanan, sambil menggonggong dengan suara salakkan yang seolah diputar tombolnya ke volume maksimum. Meski saya bukan lah orang yang gampang takut kala berhadapan dengan anjing, namun Pastinya ini bukan waktu yang tepat untuk saya menghadapi mahluk-mahluk berambut gimbal tersebut. Di saat jumlah oksigen yang dipasok ke otak jauh lebih sedikit dari kebutuhannya, maka segala hal bisa menjadi sangat irrasional, mahluk yang sering dijuluki "sahabat terbaik manusia" itu dalam benak berubah menjadi sangat menakutkan, seolah mereka adalah mahluk separo gorila separo singa dalam film Star Wars. Tanpa bisa mengasah nalar lebih jauh saya pun berusaha menggenjot pedal sepeda sekuat tenaga, namun apa lacur, dengkul tetap tidak mau menuruti perintah dari kepala, sepeda bergerak dengan sangat lambannya, dan masih dalam kondisi sulit berpikir, saya coba pindahkan gear sejadi-jadinya, yang terjadi malahan genjotan semakin berat dan sepeda semakin lambat pergerakkannya, mencoba mengubah posisi gear pada perbandingan yang berlawanan malah mengakibatkan kondisi lebih fatal lagi, kali ini kayuhan menjadi teramat sangat ringan sehingga sepeda malah tidak bergerak sama sekali. Dalam situasi darurat seperti itu, maka turun dari sepeda lantas berlari secepatnya sambil menuntun sepeda adalah jawaban tercepat yang dapat saya pikirkan.

Setibanya di rumah dengan nafas tersengal-sengal, otot-otot kejang dan bergetar, jantung berdebar bertalu-talu, pandangan mata berkunang-kunang serta tubuh yang lunglai, sambil terduduk di teras, yang dapat saya lakukan hanyalah mengutuki diri ini, ya nasib ya nasib... mengapa alam bersindisikasi dengan sedemikian rupa kejamnya kepada ku, dari awalnya melambungkan euphoria hingga setinggi langit ke tujuh lantas dalam hitungan menit saja langsung menghempaskannya ke dasar samudra terdalam. Ibarat kapal Titanic yang justru karam pada pelayaran perdananya dari pelabuhan Southampton menuju New York.