Dari: Diary Sepeda GoBlog
Diary 2: Ironi Kehidupan
Posting : 17 May 2012
Setiba di rumah, sang sepeda sudah bertengger dengan kalemnya di halaman, disambut dengan komentar dari si bibi kepada istri : "Bu tadi ada yang bawakan sepeda".
Malam ini tentunya belum sempat saya
mencoba si baru, tapi sepenggal rencana telah memenuhi benak untuk esok
pagi bangun lebih awal mencoba gowes gowes keliling perumahan.
Hahahahaha kok rasanya seperti anak kecil yang baru dapat hadiah sepeda
mini baru karena jadi juara kelas ya ....
Pagi keesokan hari, bangun dengan
semangat empatlima (bahkan mungkin empatlima-enam-tujuh-delapan
sembilan-sepuluh), lalu bergegas Cuci muka, kumur-kumur, dan tentunya
morning coffee seduhan sendiri agar nyawa secepatnya hadir, mengusir
kantuk yang masih tersisa di mata, agar sigap menggerakkan raga yang
diselimuti rasa terlalu bersemangat ini untuk mewujudkan rencana yang
sudah tersusun sejak semalam (duileh yang dapet sepeda baru ... kalem
dong brooo..).
Tidak menunggu lama, sepeda segera saya
giring ke depan rumah, setel-setel sedikit tinggi sadelnya supaya
jangkuan kaki pas di pedal (lagaknya udah yang kayak goweser sejati
dah), sejurus kemudian dimulai dari hentakan pertama .. jalan menurun
depan rumah membuat sepeda melaju dengan mulusnya Wuuuusss...,
terciptalah satu momen indah yang terekam dalam mata ini kala alam
semesta : pepohonan; awan; rumah-rumah tetangga; pagar-pagar; tiang
listrik; bak sampah; paving block; seolah berlari berlawanan arah dengan
gerakan slow motion yang serba melankolis, mengharu biru dalam harmoni
yang paling sempurna, dihembus angin pagi semilir (layaknya di
filem-filem Eropa ), serta lambaian tangan ibu-ibu istri para pekerja
bangunan, hari sepertinya memiliki cara sendiri untuk mengucapkan
selamat pagi kepada saya, dengan gaya bahasanya yang paling indah dan
paling menggugah semangat.
Jalan paving depan taman di pusat
perumahan sengaja saya pilih, karena konturnya yang memang datar-datar
saja, cocok untuk arena uji coba. Setiap genjotan benar-benar saya
rasakan kalo-kalo ada yang kiranya belum sempurna. Pedal rem; kepakeman
rem, dan kelancaran pergantian gigi-gigi tentunya tak luput dari
perhatian. Dan rupanya meski tergolong Low Grade (maksud saya harganya
murah cing..), namun sepeda merk Le Run march 300 (powered by POLYGON),
dengan gear dan pemindah gear merk Shimano ini tidak mengecewakan, cukup
sebanding lah dengan dana yang telah kami keluarkan. Keseimbangannya
stabil, dan pergantian antar gigi berlangsung cukup mulus meski sesekali
ada suara gemeletuk, tak apa, secara keseluruhan semuanya saya nilai
ok-ok saja.
Satu putaran, dua putaran saya lalui
tanpa hambatan berarti, namun pada putaran ke tiga, nampaknya mulai ada
masalah,... bukan.. bukan pada sepedanya, melainkan pada otot-otot di
dengkul yang nampaknya mulai memberi sinyal penolakan untuk saya genjot
sedikit lebih jauh lagi, dan agaknya saya pun tidak kuasa menolak
pembangkangan tersebut, hingga kemudi pun saya arah kan menuju kembali
ke rumah.
Rupanya perjalanan kembali ke rumah
tidaklah semudah seperti saat berangkat tadi, karena posisi lokasi taman
lebih rendah dari posisi rumah maka medan menuju rumah adalah medan
yang menanjak, walau sebenarnya sih tidak terlalu terjal, tapi mungkin
karena sudah lama sekali saya tidak mengayuh sepeda, dan ditambah lagi
dengan otot-otot yang enggan diajak kompromi, jadilah perjalanan pulang
menjadi siksaan yang maha berat yang harus saya tempuh. Sebenarnya bisa
saja saya turun dan menuntun sepeda pulang ke rumah, tapi alamak
tentunya hal itu akan sangat memalukan meski sebenarnya tidak ada
seorang pun yang memperhatikan. Maka demi menjaga gengsi, saya bertekad
bertahan untuk tetap berada di atas sepeda hingga tiba di rumah.
Ternyata siksaan yang harus saya alami
belum berhenti hanya sampai di situ saja. Seperti peribahasa yang
mengolok-olok dengan pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula, beberapa
belas meter menjelang tiba di rumah, dua ekor anjing milik tetangga
menghadang perjalanan, sambil menggonggong dengan suara salakkan yang
seolah diputar tombolnya ke volume maksimum. Meski saya bukan lah orang
yang gampang takut kala berhadapan dengan anjing, namun Pastinya ini
bukan waktu yang tepat untuk saya menghadapi mahluk-mahluk berambut
gimbal tersebut. Di saat jumlah oksigen yang dipasok ke otak jauh lebih
sedikit dari kebutuhannya, maka segala hal bisa menjadi sangat
irrasional, mahluk yang sering dijuluki "sahabat terbaik manusia" itu
dalam benak berubah menjadi sangat menakutkan, seolah mereka adalah
mahluk separo gorila separo singa dalam film Star Wars. Tanpa bisa
mengasah nalar lebih jauh saya pun berusaha menggenjot pedal sepeda
sekuat tenaga, namun apa lacur, dengkul tetap tidak mau menuruti
perintah dari kepala, sepeda bergerak dengan sangat lambannya, dan masih
dalam kondisi sulit berpikir, saya coba pindahkan gear sejadi-jadinya,
yang terjadi malahan genjotan semakin berat dan sepeda semakin lambat
pergerakkannya, mencoba mengubah posisi gear pada perbandingan yang
berlawanan malah mengakibatkan kondisi lebih fatal lagi, kali ini
kayuhan menjadi teramat sangat ringan sehingga sepeda malah tidak
bergerak sama sekali. Dalam situasi darurat seperti itu, maka turun dari
sepeda lantas berlari secepatnya sambil menuntun sepeda adalah jawaban
tercepat yang dapat saya pikirkan.
Setibanya di rumah dengan nafas
tersengal-sengal, otot-otot kejang dan bergetar, jantung berdebar
bertalu-talu, pandangan mata berkunang-kunang serta tubuh yang lunglai,
sambil terduduk di teras, yang dapat saya lakukan hanyalah mengutuki
diri ini, ya nasib ya nasib... mengapa alam bersindisikasi dengan
sedemikian rupa kejamnya kepada ku, dari awalnya melambungkan euphoria
hingga setinggi langit ke tujuh lantas dalam hitungan menit saja
langsung menghempaskannya ke dasar samudra terdalam. Ibarat kapal
Titanic yang justru karam pada pelayaran perdananya dari pelabuhan
Southampton menuju New York.