Senin, 18 Mei 2009

BLT, KENAPA MESTI ANTRI ?

Antrian yang semula tertib, mulai bergerak jadi saling berdesakan, kemudian saling dorong, dan akhirnya saling serobot, saling tabrak, injak, hingga jeritan, bahkan tangisan tak lagi dapat dielakkan. Tubuh-tubuh yang sebagian besar renta itu tak kuat tuk bersaing menahan desakan massa yang merangsek tanpa nalar disulut oleh rasa lelah, dahaga, panas dan mungkin juga lapar. Dibumbui panasnya sengat matahari siang, beberapa bertumbangan hingga harus mengurungkan niat semula untuk mendapatkan dana BLT (Bantuan Likuiditas Tunai) yang dibagikan pemerintah. Suasana kacau, petugas tampak kewalahan tuk mengatur.

Itulah sekelumit gambaran yang sempat saya pirsa dari tayangan televisi, perihal kacaunya pembagian BLT di suatu daerah. Memang tidak di semua daerah terjadi kekacauan semacam itu, namun kalu dipukul rata pembagian BLT ini menghadirkan pemandangan yang hampir sama serupa yakni warga masyarakat, yang memenuhi kriteria sebagai penerima BLT, harus rela berdesak-desakkan dalam alur antrian yang cukup panjang.

“Bebek Saja Antri”, demikian pemeo yang pasti sering kita dengar yang tentunya dimaksudkan untuk membudayakan kebiasaan antri dengan tertib dan teratur. Membeli minyak tanah bersubsidi harus tertib mengantri; membeli beras murah; sembako murah, membayar rekening listrik; karcis tol pun kita diminta antri dengan rapih.

Mungkin karena sudah terbiasa untuk membiasakan masyarakat supaya antri itulah, maka pemerintah kita sepertinya sudah kehilangan selera untuk memberikan pelayanan yang lebih manusiawi. Atau mungkin juga yang tertanam dalam benak pemerintah kita adalah pemikiran bahwa kalau untuk membayar sesuatu saja masyarakat kita rela antri, apalagi untuk menerima duit, ya harus antri lah.

Kalau benar demikian, tentu amatlah disayangkan. Di tengah gembar-gembor soal peningkatan produktifitas dan efektifitas kerja, ditengah gencarnya anjuran untuk melakukan penghematan, kita semua pasti setuju bahwa antri model BLT ini bukanlah suatu hal yang sesuai dengan gembar-gembor macam di atas, “jauh panggang dari api”.

Memang benar bahwa dana BLT yang dibagikan nilainya cukup besar bagi masyarakat penerimanya. Tapi apakah itu sepadan dengan waktu dan tenaga serta pengorbanan lain yang dikeluarkan? Belum lagi apabila diperhitungkan dengan segala resiko cedera; terdorong; terinjak dan teraniaya. Sungguh merupakan suatu penghambur-hamburan energi dan produktifitas yang luar biasa besarnya, tidak hanya bagi si penerima, namun juga bagi para birokrat di strata terbawah (petugas) yang terlibat langsung dalam acara pelaksanaan pembagian BLT.

Kalau dicermati lebih jauh, sudah banyak pihak –terutama swasta- yang sedikit demi sedikit berusaha untuk mengurangi cara antri. Bukan berarti masyarakat sudah tidak memiliki budaya tertib antri lagi, tapi apakah harreeee geenneee masih antreeee? Yang bener aja! Lihat saja, untuk membayar rekening listrik dan telepon, bank-bank swasta saling berlomba untuk melayaninya. Tidak perlu antri, dengan fasilitas perbankan terintegrasi (on-line bank), cukup dari mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM); atau pun komputer; bahkan dari telepon selular pun, segala kegiatan yang berhubungan dengan pembayaran atau pemindahan dana (transfer) dapat dilayani. Untuk membayar jalan tol, antriannya sudah berusaha dikurangi dengan diterbitkannya kartu pintar berlangganan jalan tol. Di bioskop-bioskop sistem pembelian tiket pun sudah bersifat terkomputerisasi, mengurangi antrian pembelian tiket.

Lantas kenapa sih pembagian dana BLT masih harus menggunakan metoda antri? Apakah teknologi informasi sama sekali tidak tersentuh atau tidak terpikirkan oleh para pengambil keputusan soal BLT? Tampaknya metoda antri masih merupakan jawaban yang paling mudah bagi para birokrat pemalas dan pemerintahan yang mau gampangnya saja.

Tulisan saya ini, sungguh, tidak hendak berpro-kontra terhadap pembagian BLT. Biarlah BLT dijadikan sarana “Tebar Pesona” untuk meningkatkan popularitas segelintir orang. Biarlah para politikus saling debat tentang tepat atau tidaknya pembagian dana BLT, yang pada ujungnya untuk meningkatkan popularitas partai. Kepedulian saya hanyalah pada cara pendistribusian dan pembagiannya yang semestinya bisa dibuat jauh lebih manusiawi daripada cara-cara yang sudah dilakukan saat ini.

Tentunya kita tidak dapat mengabaikan bahwa tidak seluruh birokrat kita masih bermental pelayanan antri. Salahsatu yang dapat diacungkan jempol adalah Direktorat Pajak. Terlihat usaha keras dari direktorat ini untuk memberikan layanan yang baik bagi masyarakat pembayar pajak. Komputerisasi dalam sistem pembayaran dan pengadministrasian pajak amat memudahkan bagi para wajib pajak untuk menjalankan kewajiban pajaknya. Tempat-tempat penyetoran bukti pajak bahkan tersedia hingga di lokasi-lokasi pusat perbelanjaan, sungguh suatu terobosan proaktif yang patut dijadikan contoh bagi pelaksana birokrasi lainnya.

Lantas, cara atau pun metoda apa sih yang bisa ditawakan untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi antrian dalam pembagian BLT? Jawaban pertama untuk pertanyan ini adalah pemanfaatan Teknologi Informasi (TI). Sulitkah? Saya yakin tidak. Saat ini dengan kemajuan TI yang ada di Indonesia, amatlah mudah bagi saya yang berlokasi kerja di ujung utara propinsi Kalimantan Timur, untuk berkomunikasi dengan istri yang bekerja di kawasan Kuta, Bali. Jaringan Telepon Selular dan Internet yang ada, saya kira sudah cukup memadai untuk mendukung program pembagian BLT.

Langkah selanjutnya adalah dengan mendekatkan industri perbankan kepada masyarakat. Buatlah masyarakat kita melek perbankan. Daripada sekedar meberikan kartu BLT, alangkah lebih baik apabila dibagikan sebuah buku tabungan lengkap dengan nomor rekening untuk setiap penerima BLT. Sebut saja ini sebagai program Rekening Jaminan Sosial (RJS) misalnya. Melalui rekening inilah dana BLT disalurkan kepada yang berhak menerima.

Bagaimana penerapannya ? Libatkan semua bank yang sudah ada di wilayah kecamatan hingga yang ada di desa-desa. Baik Bank pemerintah (BRI contohnya), maupun bank swasta dan bank rakyat yang ada. Manfaatkan TI dengan maksimal, jadikan RJS ini layaknya kartu ATM Bersama yang bisa ditarik antar BANK-bank yang tergabung dalam program ini. Dengan demikian, maka yang berperan aktif dalam pembagian BLT nantinya adalah pihak bank, yang notabene sudah memiliki fasilitas yang mendukung bagi pelaksanaan pembagian dana BLT.

Dengan cara ini masyarakat tidak perlu antri lagi bila hendak mengambil dananya. Tidak perlu berbondong-bondong ke tempat pengambilan dana, karena dana dapat diambil kapan saja, tak terbatas pada tanggal tertentu yang ditetapkan pemerintah. Kalau misalkan belum diperlukan, dana bisa dibiarkan dulu tersimpan di Bank sebagai tabungan.

Di sisi lain, dengan menyalurkan dana BLT melalui bank, setidaknya pemerintah dapat memberikan tambahan likuiditas dana segar yang tidak sedikit jumlahnya bagi bank-bank yang tergabung dalam program penyaluran BLT ini. Hitung-hitung ini adalah salah satu bentuk insentif dari pemerintah kepada bank-bank peserta.

Lantas kendala apa saja yang mungkin dihadapi yang dapat menghambat dilaksanakannya program ini?

Hal pertama yang wajib dibenahi adalah masalah Pendataan Penduduk. Ini adalah masalah klasik yang tampaknya belum terbenahi walau Negara kita telah 5 kali berganti kepemimpinan nasional. Banyak sekali masalah yang timbul dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara ini yang diakibatkan oleh kacaunya soal data kependudukkan. Kekacauan dalam Pelaksanaan pemilihan umum legislatif 2009, hanyalah salah satu contohnya. Dalam pembagian BLT, maka pendataan penduduk tentunya berkaitan secara kuantitatif dan kualitatif terhadap seberapa banyak penduduk yang terkategori memenuhi syarat untuk mendapatkan BLT. Apabila data kependudukan kita masih amburadul maka dikhawatirkan akan ada banyak masyarakat yang semestinya tidak terkategori sebagai penerima BLT malah menerimanya, atau bahkan sebaliknya yang berhak menerima BLT justru tidak mendapatkannya. Sensus Penduduk 2010 nanti, semoga saja bisa menjadi titik awal pendataan penduduk yang tertata rapih dan akurat.

Hal kedua yang perlu pembenahan adalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukung. Listrik dan jaringan komunikasi meski telah tersedia di hampir seluruh pelosok negeri, namun pada beberapa wilayah bisa dibilang kurang memadai. Apabila bisa ditingkatkan, tentunya akan lebih maksimal dalam mendukung program pembagian BLT.

Hal ketiga yang tidak kalah penting adalah mengurangi angka masyarakat penyandang buta huruf. Melek perbankan, sebagai bagian dari program Rekening Jaminan Sosial, mau tidak mau mensyarakatkan agar masyarakat penerima dapat membaca dan menulis guna berinteraksi dengan sistem perbankan.

Dari ke tiga hal di atas, tampaklah bahwa sesungguhnya masih banyak Pekerjaan Rumah yang perlu diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah, agar penyaluran dana BLT dapat dilaksanakan dengan cara-cara yang lebih manusiawi, ketimbang tergesa-gesa berkutat pada metode cepat jadi ( instant ) untuk mengatasi kemiskinan, seperti yang dilakukan pemerintah dengan program ‘antri’ BLT-nya.