Kamis, 09 Juli 2015

Diary 2: Ironi Kehidupan

Dari: Diary Sepeda GoBlog
Diary 2: Ironi Kehidupan
Posting : 17 May 2012 


Setiba di rumah, sang sepeda sudah bertengger dengan kalemnya di halaman, disambut dengan komentar dari si bibi kepada istri : "Bu tadi ada yang bawakan sepeda".

Malam ini tentunya belum sempat saya mencoba si baru, tapi sepenggal rencana telah memenuhi benak untuk esok pagi bangun lebih awal mencoba gowes gowes keliling perumahan. Hahahahaha kok rasanya seperti anak kecil yang baru dapat hadiah sepeda mini baru karena jadi juara kelas ya ....

Pagi keesokan hari, bangun dengan semangat empatlima (bahkan mungkin empatlima-enam-tujuh-delapan sembilan-sepuluh), lalu bergegas Cuci muka, kumur-kumur, dan tentunya morning coffee seduhan sendiri agar nyawa secepatnya hadir, mengusir kantuk yang masih tersisa di mata, agar sigap menggerakkan raga yang diselimuti rasa terlalu bersemangat ini untuk mewujudkan rencana yang sudah tersusun sejak semalam (duileh yang dapet sepeda baru ... kalem dong brooo..).

Tidak menunggu lama, sepeda segera saya giring ke depan rumah, setel-setel sedikit tinggi sadelnya supaya jangkuan kaki pas di pedal (lagaknya udah yang kayak goweser sejati dah), sejurus kemudian dimulai dari hentakan pertama .. jalan menurun depan rumah membuat sepeda melaju dengan mulusnya  Wuuuusss..., terciptalah satu momen indah yang terekam dalam mata ini kala alam semesta : pepohonan; awan; rumah-rumah tetangga; pagar-pagar; tiang listrik; bak sampah; paving block; seolah berlari berlawanan arah dengan gerakan slow motion yang serba melankolis, mengharu biru dalam harmoni yang paling sempurna, dihembus angin pagi semilir (layaknya di filem-filem Eropa ), serta lambaian tangan ibu-ibu istri para pekerja bangunan,  hari sepertinya memiliki cara sendiri untuk mengucapkan selamat pagi kepada saya, dengan gaya bahasanya yang paling indah dan paling menggugah semangat.

Jalan paving depan taman di pusat perumahan sengaja saya pilih, karena konturnya yang memang datar-datar saja, cocok untuk arena uji coba. Setiap genjotan benar-benar saya rasakan kalo-kalo ada yang kiranya belum sempurna. Pedal rem; kepakeman rem, dan kelancaran pergantian gigi-gigi tentunya tak luput dari perhatian. Dan rupanya meski tergolong Low Grade (maksud saya harganya murah cing..), namun sepeda merk Le Run march 300 (powered by POLYGON), dengan gear dan pemindah gear merk Shimano ini tidak mengecewakan, cukup sebanding lah dengan dana yang telah kami keluarkan. Keseimbangannya stabil, dan pergantian antar gigi berlangsung cukup mulus meski sesekali ada suara gemeletuk, tak apa, secara keseluruhan semuanya saya nilai ok-ok saja.

Satu putaran, dua putaran saya lalui tanpa hambatan berarti, namun pada putaran ke tiga, nampaknya mulai ada masalah,... bukan.. bukan pada sepedanya, melainkan pada otot-otot di dengkul yang nampaknya mulai memberi sinyal penolakan untuk saya genjot sedikit lebih jauh lagi, dan agaknya saya pun tidak kuasa menolak pembangkangan tersebut, hingga kemudi pun saya arah kan menuju kembali ke rumah.

Rupanya perjalanan kembali ke rumah tidaklah semudah seperti saat berangkat tadi, karena posisi lokasi taman lebih rendah dari posisi rumah maka medan menuju rumah adalah medan yang menanjak, walau sebenarnya sih tidak terlalu terjal, tapi mungkin karena sudah lama sekali saya tidak mengayuh sepeda, dan ditambah lagi dengan otot-otot yang enggan diajak kompromi, jadilah perjalanan pulang menjadi siksaan yang maha berat yang harus saya tempuh. Sebenarnya bisa saja saya turun dan menuntun sepeda pulang ke rumah, tapi alamak tentunya hal itu akan sangat memalukan meski sebenarnya tidak ada seorang pun yang memperhatikan. Maka demi menjaga gengsi, saya bertekad bertahan untuk tetap berada di atas sepeda hingga tiba di rumah.

Ternyata siksaan yang harus saya alami belum berhenti hanya sampai di situ saja. Seperti peribahasa yang mengolok-olok dengan pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula, beberapa belas meter menjelang tiba di rumah, dua ekor anjing milik tetangga menghadang perjalanan, sambil menggonggong dengan suara salakkan yang seolah diputar tombolnya ke volume maksimum. Meski saya bukan lah orang yang gampang takut kala berhadapan dengan anjing, namun Pastinya ini bukan waktu yang tepat untuk saya menghadapi mahluk-mahluk berambut gimbal tersebut. Di saat jumlah oksigen yang dipasok ke otak jauh lebih sedikit dari kebutuhannya, maka segala hal bisa menjadi sangat irrasional, mahluk yang sering dijuluki "sahabat terbaik manusia" itu dalam benak berubah menjadi sangat menakutkan, seolah mereka adalah mahluk separo gorila separo singa dalam film Star Wars. Tanpa bisa mengasah nalar lebih jauh saya pun berusaha menggenjot pedal sepeda sekuat tenaga, namun apa lacur, dengkul tetap tidak mau menuruti perintah dari kepala, sepeda bergerak dengan sangat lambannya, dan masih dalam kondisi sulit berpikir, saya coba pindahkan gear sejadi-jadinya, yang terjadi malahan genjotan semakin berat dan sepeda semakin lambat pergerakkannya, mencoba mengubah posisi gear pada perbandingan yang berlawanan malah mengakibatkan kondisi lebih fatal lagi, kali ini kayuhan menjadi teramat sangat ringan sehingga sepeda malah tidak bergerak sama sekali. Dalam situasi darurat seperti itu, maka turun dari sepeda lantas berlari secepatnya sambil menuntun sepeda adalah jawaban tercepat yang dapat saya pikirkan.

Setibanya di rumah dengan nafas tersengal-sengal, otot-otot kejang dan bergetar, jantung berdebar bertalu-talu, pandangan mata berkunang-kunang serta tubuh yang lunglai, sambil terduduk di teras, yang dapat saya lakukan hanyalah mengutuki diri ini, ya nasib ya nasib... mengapa alam bersindisikasi dengan sedemikian rupa kejamnya kepada ku, dari awalnya melambungkan euphoria hingga setinggi langit ke tujuh lantas dalam hitungan menit saja langsung menghempaskannya ke dasar samudra terdalam. Ibarat kapal Titanic yang justru karam pada pelayaran perdananya dari pelabuhan Southampton menuju New York.