Selasa, 15 November 2016

DIARY 5 : ESENSI KEHIDUPAN

Tulisan ini adalah artikel ke 5 yang saya tulis dalam blog Diary Sepeda GoBlog. Masih untuk memperbanyak artikel dalam blog utama saya ini, maka artikel  tersebut saya postingkan ulang di sini masih dengan harapan semoga bermanfaat.

Dari       : www.diarysepedagoblog.blogspot.co.id
Judul     : Diary 5 : Esensi Kehidupan
Posting  : Kamis, 13 September 2012


Akhirnya  setelah beberapa kali hari minggu saya melakukan aktifitas bersepeda, saya mulai bisa menikmati aktifitas luar ruang yang satu ini, bisa dikatakan inilah hobby baru saya. Meski pun keringat bercucuran, namun badan terasa segar dan bugar tiap kali sehabis bersepeda sehingganya kegiatan  ini tidak saja saya lakukan hanya pada hari Minggu, namun juga sesekali pada hari-hari lainnya. 

Hingga pada suatu hari minggu yang permai di pertengahan bulan May 2012,  saat hendak mulai bersepeda, keduaroda sepeda menunjukkan gejala kekurangan tekanan udara membuat saya harus menuntunnya terlebih dahulu mencari bengkel terdekat. Namun karena pagi masih cukup dini bengkel terdekat langganan saya belum beraktifitas, jadi lah saya tuntun terus sepeda kesayangan untuk mencari bengkel yang sudah buka. Untungnya tidak seberapa jauh saya temukan juga sebuah bengkel motor kecil yang sudah memulai kegiatannya cukup awal, dan dengan gembira saya pun memasuki bengkel tersebut.

Saya disambut oleh anak muda yang tampak sangat bersemangat membersikan halaman bengkelnya.

"Mau perbaiki apanya Om?" tanya si anak muda dengan nada yang sopan.
"Cuma minta tolong dipompakan saja dik" jawab saya sambil menyodorkan sepeda.
"Beres om" jawabnya pula

Tidak memelukan waktu lama untuk mengisikan udara ke dalam dua ban roda-roda, dan setelah membayar ongkos yang ditagih, saya ucapkan terimakasih untuk segera berlalu, Namun si anak muda ini rupanya masih senang berbasa-basi  dengan saya.

"Mau bersepeda kemana nih Om?", tanyanya.

"Biasa nih, mau jalan-jalan sampai pantai Kedonganan".

"Trus teman-temannya mana om?" tanyanya lagi.

"Waduh dek, saya kalo bersepeda biasa sendiri, soalnya kalo rame-rame saya bisa malu kalo nanti kecapaian dan harus minta berhenti" jawab saya sekenanya.

Ya, saya memang menjawab sekenanya saja untuk pertanyaan terakhir tadi, karena terusterang, sesungguhnya saya  benar-benar tidak memiliki jawaban yang tepat  untuk pertanyaan tersebut. Bagi saya saat itu, pertanyaan tersebut ibarat tinju pamungkas  Mike Tyson yang meng-KO lawan-lawannya di ronde-ronde awal sebuah pertandingan,  benar-benar menohok ke ulu hati dan menghujam ke dalam benak saya. Mungkin kedengarannya itu seperti sebuah pertanyaan yang sederhana dan biasa saja, namun jika direnungkan  dengan seksama, sesungguhnya pertanyaan itu merengkuh  jauh ke esensi terdalam kemanusiaan yakni : bahwa seorang anak manusia tidak dapat melepaskan diri dari perannya sebagai mahluk sosial.

Foto 1: Ilustrasi, bersepeda sendiri


Ya,  sebagai mahluk sosial maka manusia akan selalu mebutuhkan manusia lainnya untuk berinteraksi, dan jangan-jangan di mata pemuda di bengkel tadi saya ini sejenis mahluk manusia yang berjiwa asosial.

Sambil bersepeda, saya masih terus memikirkan apa yang ditanyakan  si anak muda tadi, dari situ saya baru menyadari bahwa selama ini saya selalu bersepeda seorang diri. Kebetulan setiap hari minggu pagi  jalan By Pass Nusa Dua sepertinya menjadi salah satu jalur favorit bagi para penghoby bersepeda, dan pemandangan yang selalu saya lihat adalah kelompok orang bersepeda  mulai dari rombongan-rombongan kecil (2 – 3 orang) hingga ke rombongan yang cukup besar (4 sampai 10 orang ), kalau pun ada yang bersepeda sendiri seperti saya, hanyalah satu dua saja.

Apakah saya ini tidak memiliki teman? Meski sudah hampir dua setengah tahun tinggal dan bekerja di Bali, namun rutinitas yang saya jalani sehari-hari adalah rutinitas seputar berangkat dari rumah ke tempat kerja - sebuah proyek pembangunan hotel bintang lima di daerah Canggu. Berangkat pukul setengah delapan pagi, baru pulang paling cepat pukul enam atau setengah tujuh dari tempat kerja.  Dan dengan hari kerja Senin hingga Sabtu,  praktis saya hanya memiliki sedikit waktu terluang untuk kegiatan lain serta untuk bersosialisasi. Hari Minggu biasanya saya luangkan untuk berjalan-jalan bersama istri dan anak-anak beserta seorang kawan karib keluarga kami.

Ini tentu amat berbeda ketika saya masih bujang dan bekerja di Jakarta dulu. Saya amat banyak memiliki kegiatan selain bekerja. Saya memiliki kawan-kawan dari kegiatan Paduan Suara; saya masih rajin berkumpul dengan kawan-kawan dari masa Sekolah Dasar, SMP, SMA dan Kuliah; sesekali saya masih mengkontak dan bertemu dengan kawan-kawan dari tempat bekerja sebelumnya di sebuah radio swasta niaga. Untuk kegiatan bermusik, saya aktif berkumpul dan bersosialisasi pada sebuah kommunitas Jass.  Dengan tetangga seputaran rumah pun saya selalu menyempatkan diri dalam berbagai kegiatan. Belum lagi terhitung teman-teman yang secara aktif berhubungan melalui jalur dunia maya. Wah kalo boleh membanggakan diri, saya ini bisa dibilang adalah pribadi yang cukup gaul dan bersosialisasi lah.

Dalam situasi seperti ini, ada rasa amat rindu dengan sahabat-sahabat saya saat masih di Jakarta dulu.

Tak terasa, memikirkan dan menganalisa pertanyaan si penjaga bengkel tadi, saya telah menggowes jauh melebihi target saya ke Pantai Kedonganan, ya sudahlah pikir saya, sepeda pun saya arahkan sekalian ke Pantai Kuta, di sana lebih ramai dan barangkali saja saya bisa dapat teman untuk diajak bersepeda bersama-sama (endingnya mudah ditebak, saya tetap saja bersepeda sendirian).

Selepas area Kuta, saat hendak kembali menuju rumah, telepon di saku tas berdering,

“Pak lagi di mana?” suara istri saya di seberang telepon.

“Masih di Kuta nih mah, sudah mau pulang”.

“Kalo gitu aku jemput di pertigaan pasar Kuta ya Pak, ini kebetulan si Agam (salah seorang sahabat kami ketika di Jakarta dulu) sedang ada di Bali, nginep di daerah Kuta, aku mau jemput ke penginapannya”.


Aaaahhh... betapa senangnya ada seorang sahabat yang datang dari Jakarta dan menyempatkan diri untuk bertemu.


Note : Foto 1: Free photo, sumber www.stocksnap.io


Selasa, 25 Oktober 2016

Icip Icip Kopi Bali

Ternyata saya pernah juga bikin satu blog yang tadinya direncanakan khusus untuk mereview kopi-kopi produksi lokal baik yang tradisional maupun pabrikan, tetapi ternyata blog itu cuma punya satu postingan saja dan sampai sekarang tidak pernah ada penambahan tulisan. Ya sudah, sebelum tulisannya hilang ditelan dunia maya, saya sempatkan untuk saya dokumentasikan di blog saya ini, semoga bermanfaat.

Dari            : icipicipkopi.wordpress.com
Judul         : Icip Icip : Kopi Bali
Posting     : 27 Februari 2014



Untuk postingan saya yang pertama ini yuk kita cicipi yang namanya Kopi Bali, sudah pernah coba apa belum? Seperti apa sih kopi Bali itu?… Hehehehe.. sebenernya kopi Bali ya sama seperti kopi tubruk lainnya, bisa dibilang ini kopi tradisional lah.. Lantas apa dong yang membedakannya dengan kopi daerah lain??… Mmmm.. mungkin dari rasanya ya.. atau mungkin juga dari cara penyajiannya ya… Tapi untuk lebih jelasnya liat dulu deh penampilan kopi bali yang kita bahas kali ini.



 Foto 1: Segelas Kopi Bali

Nah sekarang udah kebayang kan seperti apa kopi Bali itu.., memang tidak beda sih dengan kopi tubruk kebanyakan, malah yang ini cenderung ndeso hehehe.. Tapi eits, tunggu, jangan berpaling dulu ya.. meskipun dari segi presentasinya kopi ini keliatan ndeso, tapi mbok ya dicicipi dulu, kalo sudah mencicipi kopi ini maka saya nggak bertanggung-jawab ya kalo nanti semuanya pada ketagihan.


Sebutan Kopi Bali bagi masyarakat Bali mengacu pada kopi yang pembuatannya masih dilaksanakan secara manual-tradisional, yang masih banyak dijual di pasar-pasar tradisional, artinya bukan bubuk kopi kemasan pabrik multinasional yang juga mudah ditemukan di pasar.


Jenis kopi Bali umumnya adalah Robusta yang ditanam pada daerah tinggi, meski sekarang sudag banyak juga ditanam jenis kopi Arabika yang lebih bernilai ekonomis. Yang unik dari kopi bali ini adalah pada proses produksi pasca tanam yakni sa’at biji-biji kopi ini disangrai, petani atau produsen kopi tradisional gemar memberi sedikit bahan tambahan berupa kelapa; atau coklat atau pun rempah semisal lada maupun kayumanis, yang nantinya rempah-rempah itu turut digiling bersama biji kopi untuk menjadi bubuk kopi siap konsumsi. Pemberian bahan tambahan itu menjadikan rasa kopi Bali memiliki sense yang unik tergantung dari cita rasa bahan yang ditambahkan, namun jangan kawatir, rasa kopinya secara umum tidak berubah karena bahan tambahannya hanya kurang 1% dari volume kopinya.


Baiklah.., sekarang kita coba mencicipi dan membahas tentang si kopi Bali ini. Untuk acara icip men-icip kali ini sengaja saya membuat sendiri di rumah. Bubuk kopinya kebetulan saya punya kiriman dari orang tua di kampung, didapat dari tanaman kopi di Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Satu sendok teh bubuk kopi diseduh dengan air panas mendidih pada satu gelas belimbing/kaca ukuran 250 cc. Sengaja pemberian air tidak sepenuh gelas namun agak sedikit di atas pertengahan tinggi gelas untuk meniru cara penyeduhan yang biasa disajikan oleh warung-warung kopi tradisional di Bali. Setelah didiamkan beberapa menit, kopi siap untuk saya cicipi, namun sebelum saya mencecapnya di lidah, saya coba menghirup terlebih dahulu aromanya yang meruap dari permukaannya yang pekat kehitaman. Aroma kopi bali yang berasal dari kopi robusta ini tidak lah sekuat aroma kopi arabika, saya perlu mendekatkan ke hidung untuk mencium aroma khas kopinya, segar dan tanpa ada bau gosong menunjukkan bahwa kopi telah disangrai secara sempurna sebelum di giling. Barulah kemudian saya mensruputnya dari permukaan dan mencecapnya diujung lidah untuk mengenali rasanya. Rasa pertama yang saya temukan adalah rasa pahit yang pekat namun tidak terlalu menggigit. Cita rasa asam seperti yang biasa terasa pada kopi arabika tidak lah terlalu kentara pada tahap ini. Sampai di sini, biasanya seorang ahli pencicip kopi akan meludahkan kopi yang baru dicecapnya, namun saya langsung menelannya untuk mendapatkan cita rasa lebih lanjut. Di pangkal lidah, rasa pekat terasa lebih menggigit, namun rasa asam tidaklah muncul. Sampai tahap ini, saya belum dapat menemukan sense rasa lain yang biasa menyertai rasa utama kopi.

Karena belum mendapatkan sensasi rasa yang saya cari, maka saya coba untuk menambahkan gula ke dalam kopi tadi. Satu sendok teh rata gula pasir saya campurkan untuk mengimbangi satu sendok teh bubuk kopi yang telah saya seduh tadi. Rasa kopi mulai melebur dengan gula dan sensasi yang saya incar mulai saya dapatkan, rasa dasar kopi mulai melunak menjadi rasa pahit nan lembut dengan sedikit rasa cokelat yang nyaman berpadu dengan sedikit sensasi gurihnya rasa kacang mete. Rasa cokelat yang muncul bisa dimaklumi tentunya karena seperti saya ceritakan di atas, mungkin saja karena bubuk kopi yang saya dapat memang telah diberi tambahan biji cokelat. Sedangkan rasa kacang mede yang saya sampaikan di sini mungkin hanya sensasi rasa yang sulit saya jelaskan, dan mungkin tiap orang bisa mendeskripsikan secara berbeda, namun yang mungkin sama adalah itu merupakan sensasi rasa sejenis kacang.

Setelah mendapatkan sensasi rasa  yang saya cari, sedikit demi sedikit saya menghabiskan kopi dalam gelas ini, dan rasa asam yang tipis mulai muncul pada teguk-tegukan terakhir saat suhu kopi sudah mulai menurun.


Kembali ke cerita Kopi Bali yang biasa dijajakan di warung-warung kopi tradisional, coba perhatikan sekali lagi foto yang ada di atas, tampak bahwa gelas tidak terisi penuh melainkan hanya sedikit di atas pertengahan tinggi gelas bukan? Heheheh.. kopi yang tidak penuh itu bukan karena sudah saya minum atau pun bukan karena yang menghidangkannya adalah seorang yang pelit ya. Memang seperti itulah cara penyajian segelas kopi Bali, selalu setengah gelas lebih sedikit. Kenapa begitu? entahlah, kalo hal ini saya tanyakan pada ibu-ibu penjaja kopi maka mereka akan menjawab bahwa sudah sejak dulu memang begitu. Sedangkan kalo saya tanyakan pada orang-orang yang minum kopi di warung, mereka akan menjawab itu dikarenakan Kopi Bali yang pekat memiliki kandungan cafein yang sangat tinggi sehingga kita tidak perlu minum banyak-banyak, cukup setengah gelas lebih sedikit saja sudah dapat menyegarkan badan sedari pagi hingga siang hari. Sementara lainnya mengatakan bahwa itu dikarenakan masyarakat Bali lebih senang meminum kopi di saat masih dalam keadaan panas sehingga perlu diberi jarak dari bibir gelas ke permukaan kopi agar jari kita tidak kepanasan. Saya sendiri percaya pada dua jawaban tersebut.


Ada cerita unik pengalaman saya dengan kopi Bali ini. Dulu saat masih tinggal di Jakarta, sekali waktu saya harus pulang ke Bali karena ada saudara yang meninggal. Sambil menunggu upacara penguburan dimulai saya menyempatkan sebentar untuk mampir ke sebuah warung kopi. Hal lucu terjadi saat saya sudah menghabiskan gelas pertama, karena rasa kopi yang enak dan untuk saya satu gelas kopi bali belum lah cukup maka saya pun memesan untuk satu gelas lagi. Sang ibu penjual kopi nampak kebingungan dengan pesanan saya tersebut, saya pun menjadi bingung atas kebingungan si ibu. Dengan agak sangsi saya ulangi pesanan saya sekali lagi. Si ibu bukannya langsung membuat kopi malahan ia kembali bingung, sambil menannyakan untuk siapa saya memesan kopi karena dia tidak melihat saya mengajak seorang kawan pun di warungnya. Saya jawab bahwa satu gelas kopi tambahan itu adalah untuk saya sendiri, dan apa lacur jawaban saya malah membuat si ibu dan beberapa orang yang sedang berada di warung malah tertawa. Apa pasal? si ibu kemudian menjelaskan bahwa selama ini tidak ada orang yang minum kopi sampai nambah seperti saya. Wah betapa malunya saya, rupanya porsi satu gelas kopi Bali (yang sebenarnya cuma berisi setengah gelas lebih sedikit) sudah cukup bagi masyarakat di sana. Namun sambil masih tertawa si ibu akhirnya memenuhi pesanan tambahan saya itu. Ah ada-ada saja ya, lain daerah lain pula budaya minum kopinya.

Nah bagi pembaca yang sedang mampir berwisata ke Bali atau berencana untuk mengunjungi Pulau Dewata, jangan lupa, sambil menikmati pemandangan alam nan romantis sempatkanlah diri untuk terhanyut dalam nikmatnya buaian sensasi rasa Kopi Bali. 


Senin, 17 Oktober 2016

MENGAYUH RODA KEHIDUPAN

Ini Tulisan ke empat dalam blog Diary Sepeda GoBlog yang pernah saya tulis, tujuannya selain untuk mempublikasikan tulisan yang pernah saya tulis, pastinya supaya blog manjidharsana ini jadi tambah postingan heheheheh ... (ngejar target nih satu postingan tiap minggu).

Dari        : Diary Sepeda GoBlog 
Diary 4   : RODA KEHIDUPAN
Posting  : Kamis, 6 September 2012 


Mungkin dua bulan telah berlalu sejak kejadian “Minggu kelabu” yang meruntuhkan kepercayaan diri dalam hati, selama dua bulan itu hasrat untuk menggowes sepeda  sepertinya hilang ditelan asa yang membeku, dan selama masa itu pula sang sepeda terbiarkan saja berdiri merana di sudut halaman, terpapar panas terik matahari serta dinginnya hujan. Hingga akhirnya pada suatu minggu pagi yang sejuk permai, kebetulan tak banyak yang harus saya kerjakan di rumah, tanpa sengaja mata ini tertumbuk pada si sepeda yang teronggok merana di sudut halaman. 

Kondisinya kali ini tampak amat menyedihkan, terlihat dekil; kumal; dan berdebu. Terlebih setelah mencermati lebih jauh,  tampak  lapisan karat menutupi beberapa bagian yang awalnya kinclong berkilau. Bagian roda gigi dan rantainya yang semestinya terbalur minyak pelumas, di sana tampak kering menggiris dan juga berselaput lapisan karat kemerahan. Terenyuh hati ini menyaksikan pemandangan yang memilukan itu. Hadiah ulang tahun dari istri tercinta – yang dulu saya terima dengan rasa haru dan gembira tak terperi – kini harus menanggung lara karena tak pernah lagi saya memperhatikannya atau pun menyentuhnya. Terlebih lagi saat memeriksa kedua rodanya, tak  sedikit pun udara yang tersisa mengisi ruang-ruang pada tabung ban dalamnya, sehingga kedua roda itu pun kempis tak bedaya.

Spontan, segera saya cari lap dan cairan pembersih karat merk WD 40 di lemari penyimpanan,  setelah dapat,  segera saja saya semprotkan ke seluruh badan sepeda sampai ke sudut-sudut yang terkecilnya . Velg dan roda-roda gigi serta rantai tentunya tak luput dari siraman sang cairan pembersih berulang-ulang, sembari semua bagian yang terkontaminasi karat saya gosok secara lembut dengan kain lap kering, saya berusaha sedapat mungkin agar semua karat laknat dan kerak debu dapat tersingkirkan, sehingga tanpa sadar satu kaleng besar cairan pembersih WD 40 tandas demi mengmbalikan kecemerlangan sepeda kesayangan ini.

Setelah puas membersihkan sepeda dan berhasil mengembalikan kilaunya  yang sempat pudar, segera saya menuntunnya keluar, kali ini tujuan saya adalah bengkel motor terdekat untuk memompa roda-roda yang kempis. Beruntung setelah saya periksakan di bengkel, tidak ada bannya yang bocor sehingga cukup dipompakan saja udara segar untuk mengisi tabung ban dalamnya yang telah kosong.  Tak butuh waktu lama, si sepeda sudah siap untuk dipergunakan kembali.

Aaahh.. perlahan tapi pasti semangat untuk menggowes kembali muncul dalam dada, meski ada sedikit ragu namun hasrat ini tak dapat tertahankan untuk kembali menungganginya. Kali ini saya menggenjot pedal-pedalnya secara perlahan, dan dengan lembut sepeda saya bawa menyusuri jalan beraspal yang rata. Tak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan terdahulu berbagai variasi ratio roda gigi saya coba sambil menggenjot dengan mantab hingga akhirnya saya dapatkan rasio yang pas  bagi pemula seperti saya untuk bisa mengayuh  dengan nyaman. 

Tanpa terasa sudah hampir satu kilo meter jarak yang saya tempuh, cukup jauh dari bengkel motor  tempat awal saya mulai mengayuh tadi, namun karena waktu sudah hampir siang dan untuk tidak menjadi  takabur saya putuskan untuk berputar arah kembali pulang ke rumah.

Jalan menanjak menuju rumah akhirnya dengan sukses dan aman dapat saya lampaui, meski pun tiba di rumah dengan otot-otot paha yang sedikit gemetaran, namun tak ada masalah yang berarti, hanya perlu sedikit pelemasan, dengan satu keyakinan bahwa sedikit-demi sedikit kekuatannya akan semakin terlatih seiring jam terbang yang bertambah.

Satu minggu berselang, kembali di hari Minggu yang permai, saya kembali mencoba mengayuh sang sepeda dengan perasaan yang lebih pasti bahwa saya sanggup untuk menempuh jarak yang lebih jauh. Dan tak dinyana, walau masih mengayuh secara perlahan dan santai, pantai Kedonganan yang  jaraknya kurang lebih 5 kilometer dari rumah dapat saya capai dengan selamat dengan waktu tempuh hampir satu jam.   

Wah.. betapa senang dan bangganya hati ini,  meskipun bila dibandingkan dengan pesepeda yang telah berpengalaman kemampuan saya ini belum ada apa-apanya, namun tetap saja ini adalah pencapaian yang luar biasa buat saya. Dan kalau boleh berpikir bijaksana seperti filsuf-filsuf Yunani kuno, sepertinya saya telah menemukan arti  dari sebuah pencapaian kecil yang akan membawa kepada pencapaian-pencapaian yang lebih besar.  Ibarat roda kehidupan, dia akan berputar apabila ada manusia-manusia yang dengan ikhlas mengayuhnya.... Caileeeeeee.... 

Rabu, 12 Oktober 2016

POH BIKUL


“Mangga Tikus” begitu sih terjemahan bebas dari Judul tulisan saya kali ini, agak aneh bin lucu ya, kok ada mangga dinamai dengan nama hewan yang dianggap menjijikkan itu sih?  Yah Mungkin itu tak lepas karena wujud mangga yang akan saya perkenalkan ini memang berukuran kecil dan berbentuk lonjong agak mengkerucut seperti  tikus curut yang sering kita temui di kolong-kolong tempat sampah, sehingga demikian lah masyarakat di kampung saya memberinya nama.

Lalu, Kenapa juga  sih saya bilang bahwa itu nama pemberian masyarakat di kampung saya? Benar kok, nama Poh Bikul adalah nama yang disematkan oleh warga kampung saya, karena memang hanya di kampung saya saja, Desa Menyali, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali, mangga ini bisa didapat. Jangan harap bisa mendapat jenis mangga ini di daerah lain, Bahkan di desa Sawan yang bertetangga dekat dengan desa saya, masyarakatnya  tidak mengenal jenis mangga ini. Jadi boleh lah saya bilang bahwa ini adalah jenis mangga yang cukup langka.

Baiklah sekarang saya akan memperkenalkan lebih lanjut tentang keunikan si mangga yang satu ini. Seperti yang sudah saya sebut di atas, ukuran mangga ini memang super mini, rata-rata panjangnya tidak lebih panjang dari jempol tangan saya, dan kalo ada yang bisa mencapai panjang jari telunjuk saya maka saya menganggap sudah mendapat kan mangga yang berukuran besar. Warna mangga ini hijau bahkan ketika sudah sangat masak, warna kulitnya tidak akan berubah menjadi merah jingga atau kuning seperti mangga jenis lainnya. Bila melihat wujudnya sekilas orang bisa-bisa menganggap itu adalah mangga udang yang terkenal dari Medan, tapi seingat saya dulu mangga Udang medan akan berwarna kuning cerah saat buahnya sudah masak sempurna.


 Foto 1: Poh Bikul, tebalnya tidak lebih dari tepian nampan



Lantas apa sih keistimewaan dari buah mangga ini sehingga saya kok mau repot-repot membuat tulisan di blog ini hanya untuk memperkenalkan mangga yang kecil-kecil tersebut. Nah untuk mengetahui keistimewaan buah ini memang harus dicoba memakannya dulu, jangan pandang bentuknya yang kecil mungil itu ya, karena rasanya itu loh sangat manis legit dan berair khas rasa buah mangga. 

Mungkin ada pembaca yang akan protes lagi, kalo Cuma yang rasanya manis dan legit kan buah mangga jenis lain juga banyak yang rasanya manis dan legit malah dengan ukuran yang jauh lebih besar pula.


 Foto 2: Wujud si Mangga Tikus dilihat dari atas


Eits.. sabar dulu bro.. jangan protes dulu... Sekarang saya beri tahu nih rahasia keistimewaan si mangga tikus ini. Pertama-tama untuk menikmati mangga ini singkirkan semua pisau yang biasa kita pakai untuk mengupas buah. Lalu singkirkan pula segala piring, garpu dan alat-alat makan lainnya. Yang kita perlukan untuk menikmati buah ini hanyalah tangan dan mulut. Langkah berikutnya ambilah satu buah mangga yang sudah masak, abaikan ukurannya, Lalu genggam dengan sebelah tangan, kemudian pencet-pencet buah tersebut sehingga  kempes dan terasa berair di bagian dalamnya. Gigit sedikit bagian pangkal buah hingga ada lubang kecil di kulit buah, nah dari lubang kecil itu sedot lah isinya, maka cairan manis nan segar akan segera  tercecap ke lidah kita seolah Jus Mangga segar yang langsung terhidang dari buah aslinya... Hmmmm..  kalo sudah demikian teruskan lah menyedot isi buahnya.. nikmati tiap sedotannya hingga cairan yang ada dari dalamnya terseruput  habis, coba juga pijat-pijat lagi untuk memastikan bahwa semua sari buah tidak ada yang tertinggal. Bila sudah habis, jangan buru-buru dibuang, sobeklah kulit buah mangga hingga bijinya terlihat terlepas dari kulit, kemudian gerogoti bagian berserat yang masih tersisa menempel di kulit dan bagian buahnya, sensansinya tidak kalah dari sensasi menyedot sari buah mangga ini.


Foto 3: Poh Bikul yang sudah dan belum dikupas
Bandingkan ukurannya dengan ukuran jempol istri saya

Bagi saya pribadi, sensasi cara mengkonsumsinya lah yang membuat mangga ini menjadi special; tidak ada duanya dan tidak dapat saya temukan pada mangga jenis lain. Setiap gigitan dan kenyotannya mampu menerbangkan saya jauh ke masa puluhan tahun lalu saat masih bocah tinggal di kampung halaman, menikmati mangga ini bersama saudara-saudara sepupu di kala musim mangga tiba. Bahkan sampai sekarang, meski sudah dikaruniai 3 orang anak pun saya masih menikmati mangga ini dengan cara demikian, juga kalau ada handai taulan yang saya beri mangga ini sebagai oleh-oleh maka tak lupa juga saya contohkan cara untuk menikmatinya.
   
Ibu saya sejak dulu hingga sekarang selalu melarang kami anak-anak nya untuk makan mangga ini dengan cara seperti itu, beliau selalu menyiapkan pisau; piring dan garpu serta selalu sigap mengupaskannya untuk kami, namun maaf kan kami ya ibu, untuk buah yang satu ini kami terpaksa mengabaikan larangan mu. 

Kembali ke soal langkanya mangga Poh Bikul ini, kebetulan di Koran lokal Bali juga pernah dimuat artikel Mangga Khas desa kami itu, ini saya tampilkan fotonya :

Foto 4*: Capture Berita Langkanya Pohon Mangga Poh bikul di koran lokal Bali

Percaya kan kalo mangga ini termasuk jenis langka, bahkan di kampung saya ternyata tinggal tersisa 13 pohon saja. Satu cerita lagi dari saya, pohon mangga Poh Bikul ini memang sulit untuk dibudidayakan, menurut para pemiliknya mangga jenis ini tidak dapat dikembangbiakan dengan biji, melainkan harus dengan teknik cangkok dan itu pun lebih sering tidak berhasil. Orangtua saya dulu, di Jakarta, pernah mencoba mengembangbiakannya dengan biji, berhasil tumbuh dan berbuah, namun buah yang dihasilkan tidak sama dengan yang asli tumbuh di desa kami, yang ditanam orangtua saya hasil buahnya berukuran besar dan rasanya asam.

Pokoknya, mangga ini memang unik dan bikin ketagihan deh, menikmati satu buah saja pasti tidak akan terpuaskan. Penasaran? sementara ini saya tampilkan foto-fotonya  saja ya, kapan waktu kalo kebetulan berwisata ke Bali tepat di musim mangga, silakan datang ke kampung saya ya... yuuukk… mari... kita menikmati sensasi Poh Bikul.

Keterangan: Foto 4, dari berita di koran Lokal Bali, saya unduh dari laman FaceBook saudara saya @ Putu Artawa.