Senin, 18 Mei 2009

BLT, KENAPA MESTI ANTRI ?

Antrian yang semula tertib, mulai bergerak jadi saling berdesakan, kemudian saling dorong, dan akhirnya saling serobot, saling tabrak, injak, hingga jeritan, bahkan tangisan tak lagi dapat dielakkan. Tubuh-tubuh yang sebagian besar renta itu tak kuat tuk bersaing menahan desakan massa yang merangsek tanpa nalar disulut oleh rasa lelah, dahaga, panas dan mungkin juga lapar. Dibumbui panasnya sengat matahari siang, beberapa bertumbangan hingga harus mengurungkan niat semula untuk mendapatkan dana BLT (Bantuan Likuiditas Tunai) yang dibagikan pemerintah. Suasana kacau, petugas tampak kewalahan tuk mengatur.

Itulah sekelumit gambaran yang sempat saya pirsa dari tayangan televisi, perihal kacaunya pembagian BLT di suatu daerah. Memang tidak di semua daerah terjadi kekacauan semacam itu, namun kalu dipukul rata pembagian BLT ini menghadirkan pemandangan yang hampir sama serupa yakni warga masyarakat, yang memenuhi kriteria sebagai penerima BLT, harus rela berdesak-desakkan dalam alur antrian yang cukup panjang.

“Bebek Saja Antri”, demikian pemeo yang pasti sering kita dengar yang tentunya dimaksudkan untuk membudayakan kebiasaan antri dengan tertib dan teratur. Membeli minyak tanah bersubsidi harus tertib mengantri; membeli beras murah; sembako murah, membayar rekening listrik; karcis tol pun kita diminta antri dengan rapih.

Mungkin karena sudah terbiasa untuk membiasakan masyarakat supaya antri itulah, maka pemerintah kita sepertinya sudah kehilangan selera untuk memberikan pelayanan yang lebih manusiawi. Atau mungkin juga yang tertanam dalam benak pemerintah kita adalah pemikiran bahwa kalau untuk membayar sesuatu saja masyarakat kita rela antri, apalagi untuk menerima duit, ya harus antri lah.

Kalau benar demikian, tentu amatlah disayangkan. Di tengah gembar-gembor soal peningkatan produktifitas dan efektifitas kerja, ditengah gencarnya anjuran untuk melakukan penghematan, kita semua pasti setuju bahwa antri model BLT ini bukanlah suatu hal yang sesuai dengan gembar-gembor macam di atas, “jauh panggang dari api”.

Memang benar bahwa dana BLT yang dibagikan nilainya cukup besar bagi masyarakat penerimanya. Tapi apakah itu sepadan dengan waktu dan tenaga serta pengorbanan lain yang dikeluarkan? Belum lagi apabila diperhitungkan dengan segala resiko cedera; terdorong; terinjak dan teraniaya. Sungguh merupakan suatu penghambur-hamburan energi dan produktifitas yang luar biasa besarnya, tidak hanya bagi si penerima, namun juga bagi para birokrat di strata terbawah (petugas) yang terlibat langsung dalam acara pelaksanaan pembagian BLT.

Kalau dicermati lebih jauh, sudah banyak pihak –terutama swasta- yang sedikit demi sedikit berusaha untuk mengurangi cara antri. Bukan berarti masyarakat sudah tidak memiliki budaya tertib antri lagi, tapi apakah harreeee geenneee masih antreeee? Yang bener aja! Lihat saja, untuk membayar rekening listrik dan telepon, bank-bank swasta saling berlomba untuk melayaninya. Tidak perlu antri, dengan fasilitas perbankan terintegrasi (on-line bank), cukup dari mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM); atau pun komputer; bahkan dari telepon selular pun, segala kegiatan yang berhubungan dengan pembayaran atau pemindahan dana (transfer) dapat dilayani. Untuk membayar jalan tol, antriannya sudah berusaha dikurangi dengan diterbitkannya kartu pintar berlangganan jalan tol. Di bioskop-bioskop sistem pembelian tiket pun sudah bersifat terkomputerisasi, mengurangi antrian pembelian tiket.

Lantas kenapa sih pembagian dana BLT masih harus menggunakan metoda antri? Apakah teknologi informasi sama sekali tidak tersentuh atau tidak terpikirkan oleh para pengambil keputusan soal BLT? Tampaknya metoda antri masih merupakan jawaban yang paling mudah bagi para birokrat pemalas dan pemerintahan yang mau gampangnya saja.

Tulisan saya ini, sungguh, tidak hendak berpro-kontra terhadap pembagian BLT. Biarlah BLT dijadikan sarana “Tebar Pesona” untuk meningkatkan popularitas segelintir orang. Biarlah para politikus saling debat tentang tepat atau tidaknya pembagian dana BLT, yang pada ujungnya untuk meningkatkan popularitas partai. Kepedulian saya hanyalah pada cara pendistribusian dan pembagiannya yang semestinya bisa dibuat jauh lebih manusiawi daripada cara-cara yang sudah dilakukan saat ini.

Tentunya kita tidak dapat mengabaikan bahwa tidak seluruh birokrat kita masih bermental pelayanan antri. Salahsatu yang dapat diacungkan jempol adalah Direktorat Pajak. Terlihat usaha keras dari direktorat ini untuk memberikan layanan yang baik bagi masyarakat pembayar pajak. Komputerisasi dalam sistem pembayaran dan pengadministrasian pajak amat memudahkan bagi para wajib pajak untuk menjalankan kewajiban pajaknya. Tempat-tempat penyetoran bukti pajak bahkan tersedia hingga di lokasi-lokasi pusat perbelanjaan, sungguh suatu terobosan proaktif yang patut dijadikan contoh bagi pelaksana birokrasi lainnya.

Lantas, cara atau pun metoda apa sih yang bisa ditawakan untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi antrian dalam pembagian BLT? Jawaban pertama untuk pertanyan ini adalah pemanfaatan Teknologi Informasi (TI). Sulitkah? Saya yakin tidak. Saat ini dengan kemajuan TI yang ada di Indonesia, amatlah mudah bagi saya yang berlokasi kerja di ujung utara propinsi Kalimantan Timur, untuk berkomunikasi dengan istri yang bekerja di kawasan Kuta, Bali. Jaringan Telepon Selular dan Internet yang ada, saya kira sudah cukup memadai untuk mendukung program pembagian BLT.

Langkah selanjutnya adalah dengan mendekatkan industri perbankan kepada masyarakat. Buatlah masyarakat kita melek perbankan. Daripada sekedar meberikan kartu BLT, alangkah lebih baik apabila dibagikan sebuah buku tabungan lengkap dengan nomor rekening untuk setiap penerima BLT. Sebut saja ini sebagai program Rekening Jaminan Sosial (RJS) misalnya. Melalui rekening inilah dana BLT disalurkan kepada yang berhak menerima.

Bagaimana penerapannya ? Libatkan semua bank yang sudah ada di wilayah kecamatan hingga yang ada di desa-desa. Baik Bank pemerintah (BRI contohnya), maupun bank swasta dan bank rakyat yang ada. Manfaatkan TI dengan maksimal, jadikan RJS ini layaknya kartu ATM Bersama yang bisa ditarik antar BANK-bank yang tergabung dalam program ini. Dengan demikian, maka yang berperan aktif dalam pembagian BLT nantinya adalah pihak bank, yang notabene sudah memiliki fasilitas yang mendukung bagi pelaksanaan pembagian dana BLT.

Dengan cara ini masyarakat tidak perlu antri lagi bila hendak mengambil dananya. Tidak perlu berbondong-bondong ke tempat pengambilan dana, karena dana dapat diambil kapan saja, tak terbatas pada tanggal tertentu yang ditetapkan pemerintah. Kalau misalkan belum diperlukan, dana bisa dibiarkan dulu tersimpan di Bank sebagai tabungan.

Di sisi lain, dengan menyalurkan dana BLT melalui bank, setidaknya pemerintah dapat memberikan tambahan likuiditas dana segar yang tidak sedikit jumlahnya bagi bank-bank yang tergabung dalam program penyaluran BLT ini. Hitung-hitung ini adalah salah satu bentuk insentif dari pemerintah kepada bank-bank peserta.

Lantas kendala apa saja yang mungkin dihadapi yang dapat menghambat dilaksanakannya program ini?

Hal pertama yang wajib dibenahi adalah masalah Pendataan Penduduk. Ini adalah masalah klasik yang tampaknya belum terbenahi walau Negara kita telah 5 kali berganti kepemimpinan nasional. Banyak sekali masalah yang timbul dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara ini yang diakibatkan oleh kacaunya soal data kependudukkan. Kekacauan dalam Pelaksanaan pemilihan umum legislatif 2009, hanyalah salah satu contohnya. Dalam pembagian BLT, maka pendataan penduduk tentunya berkaitan secara kuantitatif dan kualitatif terhadap seberapa banyak penduduk yang terkategori memenuhi syarat untuk mendapatkan BLT. Apabila data kependudukan kita masih amburadul maka dikhawatirkan akan ada banyak masyarakat yang semestinya tidak terkategori sebagai penerima BLT malah menerimanya, atau bahkan sebaliknya yang berhak menerima BLT justru tidak mendapatkannya. Sensus Penduduk 2010 nanti, semoga saja bisa menjadi titik awal pendataan penduduk yang tertata rapih dan akurat.

Hal kedua yang perlu pembenahan adalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukung. Listrik dan jaringan komunikasi meski telah tersedia di hampir seluruh pelosok negeri, namun pada beberapa wilayah bisa dibilang kurang memadai. Apabila bisa ditingkatkan, tentunya akan lebih maksimal dalam mendukung program pembagian BLT.

Hal ketiga yang tidak kalah penting adalah mengurangi angka masyarakat penyandang buta huruf. Melek perbankan, sebagai bagian dari program Rekening Jaminan Sosial, mau tidak mau mensyarakatkan agar masyarakat penerima dapat membaca dan menulis guna berinteraksi dengan sistem perbankan.

Dari ke tiga hal di atas, tampaklah bahwa sesungguhnya masih banyak Pekerjaan Rumah yang perlu diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah, agar penyaluran dana BLT dapat dilaksanakan dengan cara-cara yang lebih manusiawi, ketimbang tergesa-gesa berkutat pada metode cepat jadi ( instant ) untuk mengatasi kemiskinan, seperti yang dilakukan pemerintah dengan program ‘antri’ BLT-nya.

Jumat, 24 April 2009

ADA PELANGI

Pelangi pelangi … Alangkah indahmu..
Merah, Kuning, Hijau .. Di langit ... *

Lagu anak-anak di atas tentu lah teramat sangat kita hapal syairnya, dan memang langit sehabis di guyur hujan yang berhiaskan pelangi, merupakan pemandangan yang sangat indah untuk dilihat.

Namun apakah pelangi juga tetap indah apabila dikaitkan dengan konteks kebernegaraan yang berlangsung di negara kita tercinta ini?

Kabinet Pelangi, demikianlah orang sering menjuluki kecenderungan warna kabinet di negara kita, yang sudah kita alami dalam beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional, semenjak masa orde reformasi.

Sekilas memang tampak indah, sekilas menyenangkan. Seorang pemimpin nasional dari partai tertentu memberikan kesempatan bagi tokoh-tokoh dari partai lain, dengan istilah mendukung, atau pun berkoalisi, untuk sama-sama mencicipi kue kekuasaan; bagi-bagi jabatan dengan dalih-dalih kebersamaan dan demi kepentingan nasional yang lebih luas.

Sungguh-sungguh kah dalih tersebut?

Memang, kabinet dengan banyak warna seperti pelangi, cenderung memberikan dukungan kuat bagi penguasa, tidak banyak rongrongan membuat pemerintahan yang terbentuk memiliki kestabilan dalam menjalankan berbagai kebijakannya.

Lalu bila saja semua partai menjadi pendukung bagi pemerintahan yang sedang berkuasa, lantas siapa yang akan berfungsi sebagai oposisi? Tanpa partai oposisi, mudah ditebak, parlemen yang berfungsi sebagai kontrol bagi pemerintahan akan sangat dimungkinkan untuk bekerja dengan setengah hati. Lah wong yang harus dikontrol dan diawasi adalah konco-konco sendiri.

Berkoalisi memang bukanlah dosa dalam berpolitik. Demi kepentingan dan ambisi, manufer-manufer apa pun syah-syah saja dipraktekkan. Apalagi dalam sistem demokrasi kita yang mempersilakan banyak partai berkompetisi, membuat sangat jarang ada partai yang bisa menang mutlak dalam pemilihan umum. Kolaborasi menjadi suatu jalan bagi partai-partai untuk mengikat kekuatan, guna menuju kursi pemerintahan.

Namun janganlah dilupakan, bahwa esensi dalam berpolitik bukan hanya memberikan peran bagi si pemenang. Politik juga memberikan tempat terhormat bagi yang kalah untuk beroposisi. Dengan oposisi, pemerintah atau pun partai yang tengah berkuasa akan memiliki counter-partner yang sepadan, sehingga segala produk politik dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan benar-benar memiliki kualitas tinggi, karena telah melewati suatu saringan dan ujian yang ketat.

Saat ini dengan sangat sedih kita harus menerima kenyataan bahwa negeri ini belum sampai memasuki tahap kedewasaan berpolitik yang cukup. Banyak partai dan kader-kadernya belum dapat menyikapi kekalahan dalam pemilihan umum sebagai suatu kehormatan. Belum terlihat ada partai yang dengan kesadaran dan penuh percaya diri menyatakan untuk menjadi oposisi bagi pemerintahan . Kalau pun ada yang menjadi oposisi, saya cenderung menduga itu hanya karena terpaksa, dikarenakan tidak mendapat bagian dari si penguasa.

Semoga saja dugaan saya itu salah. Biar bagaimana pun, bila ada partai yang mau menjadikan dirinya sebagai pihak oposisi ( terpaksa atau tidak ) tetaplah harus kita sampaikan apresiasi dan ucapan terimakasih.

Mencermati hasil pemilu legislatif 2009 yang lalu, tampaknya kecenderungan berpelangi akan tetap mewarnai politik negeri kita ini. Partai-partai dengan persentase perolehan suara kecil, terlihat sibuk melobi partai-partai berpersentase perolehan suara besar. Sibuk kasak-kusuk, dagang sapi, dengan harapan dapat ikut mencicipi empuknya kursi kekuasaan. Persis anak-anak dalam lomba tujuhbelasan, di mana yang tidak menang lomba pun tetap diberi hadiah hiburan atas partisipasinya.

Padahal seperti pelangi di langit biru yang segera memudar seiring teriknya sinar matahari, politik pelangi kita pun demikian adanya. Tidak lah pernah langgeng, spektrumnya cenderung cepat memudar dan berubah warna tergantung kepentingan-kepentingan para pihak yang melatarinya. Kalau dulu berwarna kuning-ungu-biru-hijau, sekarang mungkin telah merah-kuning-jingga-hijau-biru, bahkan mungkin merah kekuningan-hijau kemerahan-jingga agak biru–ungu seperti hijau, serba tidak jelas.

Suka atau tidak suka, pemandangan politik macam itulah yang masih akan berlangsung. Yang dulu adalah kawan, sekarang bukan lagi teman. Yang dulunya berseberangan, kini bercengkrama, saling berangkulan, berjabatan tangan, dan tanpa malu berfoto bergandengan tangan di hadapan wartawan, meski pun jelas tertangkap : ... Ada yang lain .... di senyummu ...** dan juga jelas terlihat : ... Ada pelangi ... di bola matamu.....**.


Catatan :
1. * : Lagu, berjudul “Pelangi" ciptaan Abdullah Totong Mahmud ( A.T. Mahmud )
2. ** : Penggalan lagu “ Pelangi Di Matamu”, ciptaan Azis, personel grup band JAMRUD, dinyanyikan dan dipopulerkan oleh grup band JAMRUD.



Rabu, 11 Februari 2009

RUMAH TERAPUNG

Menyaksikan berita di televisi tentang rumah-rumah di Bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta, yang terendam banjir pada musim penghujan medio Januari 2009 ini, membuat saya teringat pada masa-masa saya bertugas di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah.
Pulau Kalimantan memiliki banyak sekali sungai berukuran besar. salahsatunya adalah Sungai Barito yang meliuk-liuk sepanjang Kalimantan Selatan hingga ke arah hulunya membelah wilayah Kalimantan Tengah. Mungkin Karena masyarakat di sana sudah sangat akrab dengan Sungai-sungai berukuran besar, dan hidupnya tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan perairan sungai, akhirnya mereka menciptakan teknik membangun rumah yang bersinergi dengan lingkungan sungai yakni: rumah di permukaan sungai. Perlu digarisbawahi pada kata-kata “di permukaan sungai”, karena mereka memang tidak membuat rumah panggung di atas sungai, namun lebih dari itu, rumah unik ini betul-betul dapat terapung di permukaan air, yang oleh penduduk setempat disebut sebagai LANTING.


Foto 1. : Rumah Terapung AKA Lanting


Jangan bayangkan bahwa mereka menetap di dalam sebuah perahu berukuran besar. Lanting layaknya menyerupai rumah biasa juga, namun satu hal yang mem-bedakannya dan membuatnya dapat mengapung adalah lanting ini didirikan di atas pondasi berupa beberapa batang kayu gelondong besar yang disusun berjajar menyerupai rakit, dan disatukan satu sama lainnya dengan balok-balok kayu panjang yang sekaligus berfungsi menjadi kuda-kuda (kedudukan) bagi lantai serta rangka rumah.


Tentunya tidak semua jenis kayu dapat dijadikan pondasi untuk rumah apung ini. Jenis-jenis kayu tertentu akan tenggelam dalam air, maka hanya jenis yang dapat mengambang di air saja lah yang layak dapat dijadikan sebagai pondasi. Selain itu, tentu saja si kayu pondasi haruslah memilik daya tahan yang kuat menghadapi proses pelapukan yang disebabkan oleh air.

Apakah rumah lanting ini tidak akan hanyut terbawa arus sungai? ternyata tidak tuh. Caranya?? Ya diikatkan saja ke pohon atau ke tiang penambat di tepi sungai. Jadi meski mengapung di permukaan sungai, rupanya si Lanting ini tetap saja masih harus memiliki “kontak” dengan daratan yah.



Foto 2 : Halaman Belakang Lanting

Selain diikat, lanting juga terhubung ke daratan dengan semacam jembatan yang terbuat yang terdiri atas dua atau tiga buah batang kayu di mana salah satunya menyentuh tepi daratan dan lainya terikat pada pondasi rumah, membentuk titian yang panjang-pendeknya dapat diatur disesuaikan dengan kondisi air sungai. Di saat muka air sungai naik di musim penghujan, maka posisi lanting akan ditarik mendekati tepi badan sungai, sedangkan saat muka sungai surut di musim kering, tali pengikat harus diulurkan menjauh dari tepian agar lanting tetap berada di permukaan air dan tidak kandas. Dalam kondisi kemarau panjang dan hampir seluruh bagian sungai mengering, maka Lanting dapat diulur untuk menjangkau bagian tengah badan sungai yang biasanya paling landai sehingga lanting bisa mendapatkan posisi ‘mendarat’ yang aman.

Foto 3 : Perkampungan Terapung

Karena tidak berancang-bangun seperti perahu, maka rumah lanting ini hanya difungsikan untuk menetap pada satu tempat saja. Namun manakala diperlukan sebenarnya lanting dapat dengan mudah dipindah tempatkan, hanya saja untuk itu diperlukan bantuan satu buah perahu bermesin yang cukup besar untuk menghelanya, ditambah satu atau dua perahu kecil bermesin untuk mengendalikan arah.


Foto 4. : Rumah Lanting dan Rumah daratan
Kesan saya saat tinggal di rumah lanting tidak ubahnya seperti tinggal di rumah daratan saja, hanya saja pada awalnya dulu perlu sedikit penyesuaian, terutama saat rumah bergoyang-goyang terhempas gelombang dari perahu-perahu yang lewat. Rasanya seperti ada gempa kecil yang menimpa rumah, namun dalam beberapa hari saja perasaan itu sudah dapat dihilangkan.

Penyesuaian lain adalah melatih ketrampilan untuk meniti jembatan kecil yang menghubungkan rumah lanting dengan daratan, bila tidak berhati-hati bisa saja tergelincir dan tercebur ke sungai, basahnya sih tidak seberapa, tapi malunya itu loh.... Maklum lah, meski tinggal di sungai, namun sebagian besar kegiatan tetap dilaksanakan di daratan, sehingga acara menyeberangi titian lanting menjadi hal yang rutin saya lakukan. Dalam beberapa hari saja saya sudah cukup piawai, bahkan kawan-kawan di sana memberikan pujian pada ketrampilan saya melangkah di titian ini. Namun sesungguhnya adaptasi terbesar bukanlah dalam hal melewati titian atau pun membiasakan diri terhadap goyangan gelombang. Hal tersulit justru adalah membiasakan diri untuk mandi dan menggunakan MCK di sungai seperti yang masyarakat sana biasa lakukan, termasuk tentu saja menggosok gigi.

Foto 5. : Kegiatan harian di lanting
Konsep Lanting atau rumah terapung ini dapat diterapkan tidak hanya untuk rumah tempat tinggal biasa saja. Konsep ini juga dapat dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan yang lebih besar seperti Rumah makan, dan juga toko terapung. Maklum saja, jalur sungai masih menjadi urat nadi perekonomian dan sarana perhubungan utama di daerah-daerah pedalaman di Kalimantan. Tentunya untuk bangunan yang lebih besar, diperlukan kayu gelondong yang lebih panjang serta berdiameter lebih besar sebagai pondasinya. Meskipun sudah agak sulit, di sana kayu-kayu gelondongan berukuran besar masih bisa didapati.

Yang lebih menarik, apabila kita kemalaman dalam perjalanan menyusuri sungai Barito, dan membutuhkan tempat untuk sekadar beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan, tidak perlu khawatir, kita bisa juga loh menginap di “hotel” terapung. Bolehlah tempat menginap ini saya katakan sebagai “hotel”, karena umumnya tersedia cukup banyak kamar, bahkan diantaranya ada yang terdiri dari dua lantai. Tarif menginap di hotel terapung ini tergolong sangatlah murah. Tahun 2008 lalu tarif menginap di sana masih berkisar antara Rp. 15.000,- sampai Rp. 30.000,- per malamnya. Meski biasanya sangat sederhana dan tidak menyediakan sarapan pagi, namun di semua “hotel” terapung tersebut selalu tersedia fasilitas kamar mandi dan fasilitas berenang di halamannya hehehehe .....


Foto 6. : Hotel Terapung
Bingung menghadapi banjir seperti saat-saat musim penghujan medio Januari 2009 ini?, mungkin saja apa yang telah diciptakan oleh saudara-saudara kita yang tinggal di sepanjang tepian Sungai Barito ini, dapat menjadi solusi untuk menghadapi Banjir di Jakarta.

Minggu, 18 Januari 2009

YANG UNIK DAN LANGKA DARI HUTAN KALTIM

Masuk ke hutan belantara di pedalaman Kaltim ternyata memberi kesempatan bagi saya untuk dapat melihat banyak sekali flora dan fauna yang sebelumnya belum pernah saya kenali baik secara langsung maupun dari media cetak; buku atau pun televisi.

Namun dari sekian banyak flora dan fauna yang saya jumpai, saya ingin menampilkan 3 jenis saja di antaranya yang menurut saya paling unik dan mungkin juga termasuk ke dalam spesies langka. Ketiganya saya temukan di daerah hutan pedalaman di Kecamatan Kelay Kabupaten Berau, saya menganggapnya langka karena setelah menanyakan pada beberapa penduduk setempat yang sudah sering masuk ke hutan, mereka pun baru kali itu menyaksikannya dan mereka tidak memiliki nama lokal bagi tiga spesies ini.


1. Serangga unik.


pertama adalah sejenis serangga yang sangat unik, dengan ciri-ciri : memiliki panjang tubuh dari kepala sampai ujung bagian belakangnya lebih panjang daripada jari telunjuk saya; warna tubuh menyerupai warna dedaunan kering; ada 2 pasang sayap di bagian punggungnya yang saya yakin tidak sanggup membawanya terbang, karena terlalu kecil untuk tubuhnya yang bongsor. Uniknya walaupun memiliki kaki belakang yang besar dan berduri, serangga ini berpindah tempat dengan cara berjalan, bukannya melompat seperti jangkrik atau belalang.



Foto 1. : Perhatikan sayapnya di bagian punggung.

Merasa penassaran, saya sempatkan diri mencari informasi melalui searching di internet, dan hingga saat ini baru mendapatkan satu gambar serangga yang serupa dengan serangga yang saya temukan ini, perbedaannya adalah foto serangga yang saya dapat melalui internet itu memiliki warna badan yang hijau terang serupa warna dedaunan yang segar.


Foto 2 : Heteropteyx dilatata ( Jason Cross, www.flicker.com )

Foto di atas adalah milik Jason Cross, yang saya unduh dari flicker.com. Dalam laman tersebut juga dijelaskan bahwa serangga dalam foto ini adalah species Heteropteyx dilatata.

Saya sendiri belum yakin apakah foto serangga di atas merupakan spesies yang sama dengan serangga yang saya dapatkan.



2. Tumbuhan tak berbatang dan daun.


Berikutnya saya juga mendapatkan satu tumbuhan yang sangat unik, karena tumbuhan ini tumbuh langsung di atas permukaan tanah, namun tidak memiliki batang serta daun. Berbentuk seperti bunga berwarna kelabu, dengan lima kelopak yang tebal dan keras, mengelilingi semacam kantong tertutup berbentuk separo bola, diameter 5,5 cm dengan tinggi sekitar 1,5 cm.




Foto 3. : Tampak dari atas, dan dari bawah


Foto 4. : Tampak dari samping



Sayangnya setelah mencoba mendapatkan informasi melalui internet, saya belum mendapatkan keterangan apapun atau juga gambar yang serupa dengan tumbuhan yang saya dapatkan ini.

3. Siput bercangkang tembus cahaya.

Kalau biasanya kita jijik kalau melihat seekor siput, maka siput yang saya dapatkan ini punya penampilan unik dan lucu. Tubuh lunaknya berwarna kemerahan dengan dua garis hitam membujur dari pangkal kepala sampai sampai ekornya. Namun yang lebih menarik adalah hewan ini memiliki cangkang atau “rumah” berbentuk spiral yang tembus cahaya, sehingga kita bisa melihat tubuh lunaknya yang bersembunyi di dalam cangkang.

Foto 5 : Siput tembus cahaya / Transparent snail




Hewan lucu nan cantik ini saya dapatkan saat saya sedang beristirahat melepas lelah pada sebuah bukit batugamping. Nah kalau diperkenankan, ijinkan saya memberi nama hewan ini dengan sebutan Siput tembus cahaya atau Transparent Snail, sesuai dengan cangkangnya yang seperti rumah kaca tembus pandang.



Saya amat berterimakasih apabila ada rekan-rekan pembaca yang bisa membantu untuk mendapatkan nama latin atau pun nama lokal bagi hewan dan tumbuhan yang saya tampilkan dalam tulisan ini, terutama saya juga memerlukan info apakah species-species ini termasuk ke dalam jenis yang langka atau kah tidak.

Sesungguhnya seringkali terbersit perasaan dilematis dalam hati saya, dikarenakan kegiatan survey yang saya laksanakan pada akhirnya akan berujung pada kegiatan pembukaan areal hutan, yang nantinya tentu akan mengurangi sebahagian habitat alamiah bagi banyak jenis hewan dan tumbuhan.

Semoga saja tulisan ini dapat menjadi dokumentasi, atau paling tidak bisa menceritakan bahwa sekurangnya ada 3 jenis spesies yang unik, yang berada di pedalaman hutan Kalimantan kita, dan terbersit harapan saya bahwa tulisan ini dapat menggerakan para pemerhati; pencinta lingkungan atau pun para ahli di bidang flora & fauna; untuk meneliti dan mendokumentasikannya melaui metoda-metoda yang lebih ilmiah dengan harapan bahwa nantinya dapat dicari solusi bagi pelestariannya.