“We Want More..! We Want More..! We Want More..!”, yel-yel ini tentunya sudah sering kita dengar pada acara-acara pertunjukkan musik, di mana penonton meneriakkan yel-yel tersebut untuk meminta artis idola mereka kembali ke atas pentas guna memberikan satu-dua tambahan lagu di akhir pertunjukan. Dulu saya pun mengira bahwa yel-yel itu adalah khas ulah penonton pertunjukkan panggung musik saja.
Belakangan, dari keterangan pembawa acara di salah satu
acara kuis televisi, baru saya mengetahui ternyata yel-yel tersebut awalnya
diteriakan pada sebuah aksi unjuk rasa besar-besaran para buruh pekerja di
Amerika, yang dengan jargon “We want more” tersebut menuntut haknya untuk
mendapatkan upah kerja yang lebih banyak, serta jam kerja yang lebih sedikit. Demikian
terkenalnya yel-yel itu sehingga diadopsi oleh para penonton pertunjukkan musik
seperti yang saya bahas di atas. Tanggal 1 May, tanggal saat dilaksanakannya aksi unjuk rasa tersebut
hingga kini dirayakan sebagai Hari Buruh/Pekerja se Dunia (World Labor Day),
atau yang lebih dikenal sebagai May Day.
Setiap tahun, di banyak negara bahkan juga di Indonesia,
Hari Pekerja selalu diperingati sebagai hari libur nasional. Dan seperti di
banyak negara lain, peringatan Hari Pekerja lebih banyak dirayakan dengan
turunnya ribuan pekerja ke jalan-jalan raya untuk menyampaikan aspirasi mereka,
dengan mengangkat issue yang beragam tergantung situasi.
Dan kalo saya, melalui akun-akun jejaring sosial saya,
ikut-ikutan “meneriakkan” yel-yel ‘We
want more’ itu lebih karena saya masih
melihat bahwa yel-yel tersebut masih sangat relevan dengan situasi kondisi para
pekerja di Indonesia saat ini. Kita tentu tidak perlu menjadi ahli sosial
ekonomi atau pun ahli kemasyarakatan untuk dapat menilai kondisi ketenagakerjaan
kita. Kesejahteraan buruh dan pekerja dapat dikatakan masih sangat tertinggal
dibandingkan dengan buruh dan tenaga kerja di luar negeri. Upah Minimum
Regional (UMR) yang besarannya ditetapkan berbeda di masing-masing propinsi di
Indonesia, saya nilai masih amat jauh mencukupi untuk mencapai kata sejahtera.
Jangan kata untuk menabung atau pun berinvestasi, upah yang diterima pekerja
sesuai besaran UMR baru dapat memenuhi kebutuhan dasar kalau tidak dapat
disebut sebagai ’pas-pasan’.
Untuk bersaing di industri di Global, semestinya kita tidak lagi
dapat mengandalkan rendahnya upah pekerja sebagai keunggulan komparatif. Upah pekerja jangan lah dianggap sebagai
beban dalam komponen industri dan perdagangan. Masih banyak komponen biaya lain
yang dapat dikurangi guna memotong biaya investasi industri di Indonesia. Salah
satu yang sering dikeluhkan oleh pemodal-pemodal lokal maupun asing adalah
tingginya biaya administrasi birokrasi di Indonesia serta tingginya biaya
“siluman” di Indonesia. Kalau saja hal ini bisa dikurangi, maka biaya-biaya
yang selama ini tersedot untuk hal tersebut tentunya dapat dialihkan untuk
menaikkan upah pekerja.
Banyak lagi yang bisa dilakukan untuk memangkas ongkos
investasi, sebagai contoh, misalnya pemerintah memberikan insentif pajak dan
keringanan bea-bea untuk perusahaan-perusahaan yang bersedia membayar upah
pekerja di atas UMR yang berlaku. Saya percaya dengan demikian akan banyak
perusahaan yang bersedia membayar upah yang tinggi bagi para pekerjanya. Di
sisi lain pemerintah tidak perlu khawatir akan mengalami penurunan pendapatan,
karena apabila pekerja dapat menerima upah di atas rata-rata UMR, maka para
pekerja tersebut bisa dimasukkan ke dalam golongan pekerja yang layak menjadi
wajib pajak, sehingga dari sisi ini pun negara tetap akan mendapatkan
pemasukkan.
Sesungguhnya masih banyak komponen industri lain yang dapat
diefisienkan untuk menekan biaya industri dan investasi di negara kita ini.
Transportasi; kawasan industri; pelabuhan dan birokrasi hanyalah beberapa poin
yang dapat saya sebutkan.
Namun bicara soal peningkatan kesejahteraan pekerja tidak
melulu masalah menaikkan upah atau pun UMR, karena kenaikan UMR lebih sering
disusul dengan kenaikan harga barang-barang yang melebihi value dari kenaikkan UMR itu sendiri. Sehingga meski mendapat upah yang
meningkat, namun daya beli pekerja sesungguhnya menurun. Tentunya hal ini
adalah ‘Pekerjaan Rumah’ bagi pemerintah agar selalu dapat menstabilkan angka inflasi
berada pada angka yang tetap rendah.
Di atas semua itu, ada hal yang jauh lebih penting dalam meningkatkan
kesejahteraan pekerja, yakni peningkatan kemampuan dan kapabilitas pekerja itu
sendiri. Persaingan di dunia kerja, baik lokal maupun global sedemikian
sengitnya, apabila pekerja kita hanya mampu memberikan prestasi kerja yang
stagnan tentunya kita akan mudah tergusur dan bukannya tidak mungkin malahan
akan membuat para investor mengalihkan industrinya ke negara lain yang tenaga
kerjanya lebih kompetitif secara prestasi. Untuk itu butuh kesadaran para kita
para kerja untuk selalu mengedepankan prestasi kerja dibalik aspirasi akan
kenaikkan upah dan peningkatan kesejahteraan sosial.
Akhir kata, saya menyampaikan selamat Hari Pekerja se Dunia,
kepada seluruh rekan Pekerja Indonesia, selamat menyampaikan aspirasinya,
semoga berjalan dengan tertib; aman-terkendali dan damai. WE WANT MORE...!
Kuta, 1 May 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar