Kamis, 01 Mei 2014

WE WANT MORE..!


“We Want More..! We Want More..! We Want More..!”,  yel-yel ini tentunya sudah sering kita dengar pada acara-acara pertunjukkan musik, di mana penonton meneriakkan yel-yel tersebut untuk meminta artis idola mereka kembali ke atas pentas guna memberikan satu-dua tambahan lagu di akhir pertunjukan.  Dulu saya pun mengira bahwa yel-yel itu adalah khas ulah penonton pertunjukkan panggung musik saja.



Belakangan, dari keterangan pembawa acara di salah satu acara kuis televisi, baru saya mengetahui ternyata yel-yel tersebut awalnya diteriakan pada sebuah aksi unjuk rasa besar-besaran para buruh pekerja di Amerika, yang dengan jargon “We want more” tersebut menuntut haknya untuk mendapatkan upah kerja yang lebih banyak, serta jam kerja yang lebih sedikit. Demikian terkenalnya yel-yel itu sehingga diadopsi oleh para penonton pertunjukkan musik seperti yang saya bahas di atas. Tanggal 1 May, tanggal  saat dilaksanakannya aksi unjuk rasa tersebut hingga kini dirayakan sebagai Hari Buruh/Pekerja se Dunia (World Labor Day), atau yang lebih dikenal sebagai May Day.


Setiap tahun, di banyak negara bahkan juga di Indonesia, Hari Pekerja selalu diperingati sebagai hari libur nasional. Dan seperti di banyak negara lain, peringatan Hari Pekerja lebih banyak dirayakan dengan turunnya ribuan pekerja ke jalan-jalan raya untuk menyampaikan aspirasi mereka, dengan mengangkat issue yang beragam tergantung situasi.


Dan kalo saya, melalui akun-akun jejaring sosial saya, ikut-ikutan  “meneriakkan” yel-yel ‘We want more’  itu lebih karena saya masih melihat bahwa yel-yel tersebut masih sangat relevan dengan situasi kondisi para pekerja di Indonesia saat ini. Kita tentu tidak perlu menjadi ahli sosial ekonomi atau pun ahli kemasyarakatan untuk dapat menilai kondisi ketenagakerjaan kita. Kesejahteraan buruh dan pekerja dapat dikatakan masih sangat tertinggal dibandingkan dengan buruh dan tenaga kerja di luar negeri. Upah Minimum Regional (UMR) yang besarannya ditetapkan berbeda di masing-masing propinsi di Indonesia, saya nilai masih amat jauh mencukupi untuk mencapai kata sejahtera. Jangan kata untuk menabung atau pun berinvestasi, upah yang diterima pekerja sesuai besaran UMR baru dapat memenuhi kebutuhan dasar kalau tidak dapat disebut sebagai ’pas-pasan’.



Untuk bersaing di industri di Global, semestinya kita tidak lagi dapat mengandalkan rendahnya upah pekerja sebagai keunggulan komparatif.  Upah pekerja jangan lah dianggap sebagai beban dalam komponen industri dan perdagangan. Masih banyak komponen biaya lain yang dapat dikurangi guna memotong biaya investasi industri di Indonesia. Salah satu yang sering dikeluhkan oleh pemodal-pemodal lokal maupun asing adalah tingginya biaya administrasi birokrasi di Indonesia serta tingginya biaya “siluman” di Indonesia. Kalau saja hal ini bisa dikurangi, maka biaya-biaya yang selama ini tersedot untuk hal tersebut tentunya dapat dialihkan untuk menaikkan upah pekerja.


Banyak lagi yang bisa dilakukan untuk memangkas ongkos investasi, sebagai contoh, misalnya pemerintah memberikan insentif pajak dan keringanan bea-bea untuk perusahaan-perusahaan yang bersedia membayar upah pekerja di atas UMR yang berlaku. Saya percaya dengan demikian akan banyak perusahaan yang bersedia membayar upah yang tinggi bagi para pekerjanya. Di sisi lain pemerintah tidak perlu khawatir akan mengalami penurunan pendapatan, karena apabila pekerja dapat menerima upah di atas rata-rata UMR, maka para pekerja tersebut bisa dimasukkan ke dalam golongan pekerja yang layak menjadi wajib pajak, sehingga dari sisi ini pun negara tetap akan mendapatkan pemasukkan.


Sesungguhnya masih banyak komponen industri lain yang dapat diefisienkan untuk menekan biaya industri dan investasi di negara kita ini. Transportasi; kawasan industri; pelabuhan dan birokrasi hanyalah beberapa poin yang dapat saya sebutkan.


Namun bicara soal peningkatan kesejahteraan pekerja tidak melulu masalah menaikkan upah atau pun UMR, karena kenaikan UMR lebih sering disusul dengan kenaikan harga barang-barang yang melebihi value dari kenaikkan UMR itu sendiri. Sehingga meski mendapat upah yang meningkat, namun daya beli pekerja sesungguhnya menurun. Tentunya hal ini adalah ‘Pekerjaan Rumah’ bagi pemerintah agar selalu dapat menstabilkan angka inflasi berada pada angka yang tetap rendah.


Di atas semua itu, ada hal yang  jauh lebih penting dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja, yakni peningkatan kemampuan dan kapabilitas pekerja itu sendiri. Persaingan di dunia kerja, baik lokal maupun global sedemikian sengitnya, apabila pekerja kita hanya mampu memberikan prestasi kerja yang stagnan tentunya kita akan mudah tergusur dan bukannya tidak mungkin malahan akan membuat para investor mengalihkan industrinya ke negara lain yang tenaga kerjanya lebih kompetitif secara prestasi. Untuk itu butuh kesadaran para kita para kerja untuk selalu mengedepankan prestasi kerja dibalik aspirasi akan kenaikkan upah dan peningkatan kesejahteraan sosial.


Akhir kata, saya menyampaikan selamat Hari Pekerja se Dunia, kepada seluruh rekan Pekerja Indonesia, selamat menyampaikan aspirasinya, semoga berjalan dengan tertib; aman-terkendali dan damai. WE WANT MORE...!



Kuta, 1 May  2014

Tidak ada komentar: